Dua tulisan terdahulu di Haluan ini, pertama tentang “Membayangkan Sumbar sebagai Industri Otak” dan kedua direfleksikan oleh Dr. Asrinaldi, “Sumbar sebagai Pusat Pendidikan” semakin terasa oleh kita betapa besarnya harapan akan adanya kebangkitan dunia pendidikan di Sumatera Barat.
Orang “awak” jika menelisik sosio-kulturalnya pendidikan di daerahnya, pastilah tak pernah meninggalkan aspek kajian sejarah masa lalunya yang gemilang terbilang itu, hingga tersebutlah nama-nama seperti, Hatta, Hamka, Tan Malaka, Syahrir, Agus Salim dan seterusnya. Nama-nama, “urang awak” yang tak terlupakan dalam perjalanan pementas peradaban nasional kita.
Ini adalah fakta sejarah yang memperkuat keintelektualan orang Minang masa lalu. Sekaligus, sebagai pijakan yang digunakan bahwa orang Minang itu orang terdidik, intelek dan terpelajar. Pertanyaan selanjutnya, mengapa orang Minang itu terdidik, apakah di Minang itu ada mesin-mesin pencetak orang-orang yang terdidik itu? Dua pertanyaan itu wajib kita jawab, untuk menyemangati upaya kekinian dalam membangun negeri ini sebagai industri otak itu.
Orang Minang terdidik itu, tentu tidak terlepas dari lokus budaya yang membentuknya. Alur sejarah orang Minang terdidik, karena adanya sistem pendidikan lokalnya terutama bagi laki-laki. Bagi laki-laki ada surau dan tradisi merantau yang membentuknya sebagai seorang intelektual. Sebelum orang Minang mengenal pendidikan modern, surau itulah membentuk karakter orang Minang berintelektual. Ulamalah yang berperanan, menjadikan orang Minang itu terdidik, sehingga keemasan pendidikan yang dimotori ulama ini, Minangkabau juga tersebut sebagai “kampung ulama.”
Sedangkan merantau adalah tradisi pematangan orang Minang secara psikologis, ekonomis, politis dan pendidikan. Merantau adalah sebuah pilihan strategis yang ditawarkan oleh budaya supaya seseorang memberdayakan dirinya diluar lingkaran budayanya, sehingga ia tidak lagi seperti katak di bawah tempurung tetapi betul-betul sudah merasakan dunia ini luas dengan segenap cakrawalanya.
Kata sosiolog Ibn Khaldun, orang yang suka merantau (nomad) jelas memiliki pola pikir, cara bertindak dan berimpovisasi berbeda dengan orang-orang yang tidak mengembara. Ejalah orang-orang Minang yang intelektual yang kita catat dalam sejarah itu, ternyata mereka besar setelah “mengecap” dunia perantauan.
Lantas dinamika tradisional-modern berkembang di Minangkabau akibat pola kampung dan rantau. Kedua pola ini berkembang sampai saat sekarang.
Argumentasi tradional-modern ini tak akan pernah berkesudahan, di ranah kita. Tapi itu pula corak warna dinamika Minang kekinian. Sayangnya, corak itu dalam konteks kekinian mengapa terasa gersang dari keintelektualan itu, minimal terlihat dari dua tulisan yang kita potret di atas. Hingga ada yang membayangkan jika Sumbar jadi industri otak dan Asrinaldi ingin mendobrak Sumbar menjadi pusat pendidikan.
Jika dilihat dari statistik jumlah perguruan tinggi negeri dan swasta di Sumbar, luar biasanya pertumbuhannya. Mengapa, kita masih ragu dengan kenyataan “sumbar sebagai industri otak” dan “pusat pendidikan”. Apakah, perguruan tinggi yang sudah berderet jumlahnya ini tidak cukup dalam mengakses anak muda negeri ini menjadi seorang intelektual?
Mesti kita sadari untuk membangun intelektualitas dan tradisiinya itu kita memerlukan institusi pendidikan yang berkualitas, memerlukan perguruan tinggi yang berkualitas, memerlukan pendidik yang berkualitas dan seterusnya. Tentu ini sudah menjadi sebuah keharusan semua perguruan tinggi kita. Namun saja, keharusan kualitas itu masih mengalama suasana tagurajai.
“Ketugarajian” kualitas itu, semula dituduh akibat kecilnya anggaran biaya pendidikan. Semua lembaga pendidikan tinggi mengeluh atas kecilnya biaya tersebut. Tapi sayang, dibalik anggaran yang kecil itu, kita lupa dengan kekuatan epistimologi ilmu yang dibangun, karena lebih mementingkan dunia pasar.
Perguruan tinggi yang kondisi di dalamnya seperti supermarket, tanpa dibangun dengan kekuatan epistimologi, tentu yang terjadi adalah pengelolaan perguruan tinggi “laku kini” sekarang nanti dipikirkan. Oleh sebab itu jangan heran yang terjadi, lemah tradisi intelektual, lemah tradisi ilmiah.
Di samping kelemahan tradisi intelektual dan tradisi ilmiah itu, lembaga pendidikan kita perguruan tinggi pengelolaannya sangat dilemahkan oleh tradisi politisasi. Hingga yang terjadi adalah, pengolaan perguruan tinggi-kampus-lembaga pendidikan bukan atas dasar kepakaran, tetapi atas dasar perpolitikan. Inilah yang membuat tumpulnya akademisi, tumpulnya kerja-kerja ilmiah dan seterusnya.
Dari segi kerja ilmiah, insan akademik kita kalah bersaing dengan negara-negara tetangga. Hal ini dapat diukur, dari hasil penelitian yang dihasilkan dari buku dan jurnal yang diterbitkan disamping dilihat dari tingkat pendidikan tenaga yang diperolehnya.
Konon kabarnya, mengapa dikti melakukan kebijakan “sapu rata” publikasi ilmiah, itu salah satu alasannya adalah karena “ketertinggalan” dari negara tetangga tentang publikasi ilmiah tersebut. Lahirlah kebijakan yang disikapi prokontra tentang itu, bagaimana jalannya? Pada hal era 70-an, negara tetangga itu pendidiknya didatangkan dari Indonesia.
Bagaimana dosen atau tenaga pendidik akan melahirkan tulisan-tulisan ilmiah, jika sumber daya untuk kerja keilmiahan itu tidak dibangun di kampus. Tenga pengajar masih, mengalami sebagai “buruh” dari pabrik kampus yang hanya dimungkinkan mengajar tatap muka, tak lebih dari itu.
Epistimologi keilmuan yang tak jelas dan rendahnya kinerja akademik ini, ternyata melahirkan “dosa” turunan. Pengangguran merupakan dosa turunan yang tak terhentikan.
Hampir sepuluh juta pengangguran setiap tahunnya di Indonesia, ternyata separohnya adalah tamatan pendidikan tinggi, ada apa ini? Semula diprediksikan akibat dari perguruan tinggi tidak ditularkan semangat interpreneur, tetapi kenyataannya setelah dipadatkan matakuliah kewurausahaan masuk ke dalam beberapa jurusan yang terjadi adalah tetap saja pengangguran elite pendidikan ini banyak jumlahnya.
Di sinilah, semakin yakin kita bahwa epistimologi keilmuan itu tidak kuat di bangun oleh lembaga pendidikan terutama perguruan tinggi. Subjek mata kuliha berjubel jumlahnya dan padat, tapi tidak memperkokoh penguasaan keilmuan. Mata kuliah itu, hanya mengajak mengenal dan tidak mengajak menguasai.
Lantas, harus bagaimana urang awak untuk membangun industri otak itu? Tidak ada pilihan selain memperkuat epistimologi keilmuan itu. Memperkuat epistimologi keilmuan tidak satu-satunya dengan jalan merubah level perguruan tinggi, seperti yang hangat diperdebatkan konversi, IAIN-STAIN ke Universitas Islam Negeri (UIN). Toh, ITB-IPB pun tanpa mengkonversi menjadi universitas dirinya tetap menjadi perguruan tinggi terdepan, yang terpenting adalah bagaimana epistimologi keilmuan itu jelas dan kualitasnya ditingkatkan.
Selanjutnya, kita sudah memiliki “mesin-mesin” untuk industri otak itu, tapi mesin-mesin itu tak termanfaatkan karena tak kondusifnya kampus untuk kerja akademik, akibat politisasi dan sarana penunjang keilmiahan yang tak memadai malahan tak terwujudkan.
Kita memiliki profesor masing-masing kampus, apalagi di Unand, UNP dan IAIN pasti lebih dari sepuluh orang dari masing-masing kampus itu, belum lagi bergelar doktor jumlahnya tentu lebih banyak dari profesor.
Ini adalah aset untuk industri otak itu, jika perguruan tinggi betul-betul tidak menjadikan mereka sebagai “buruh” akademik. Tetapi menjadikan mereka sebagai akademisi yang membangun keilmiahan dengan memperhatikan sarana-sarana peningkatan kualitas keilmiahan tersebut.
SILFIA HANANI
(Dosen Sosiologi Pascasarjana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar