Alquran yang diturunkan pada malam lailatul qadhar di bulan Ramadan sesungguhnya memberi spirit bagi umat Islam untuk meningkatkan penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga terjadi kebangkitan umat. Sebab kebangkitan umat Islam tidak akan dapat terwujud tanpa penguasaan ilmu pengetahuan.
Namun kenyataannya, umat Islam kerap kali dipandang sebagai umat terbelakang yang tidak mampu bersaing di tingkat internasional, terutama dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Umat Islam acap kali terjebak pada romantisme sejarah masa lalu dengan kemajuan dan kejayaan Islam yang pernah terjadi pada masa daulah Umayyah, terutama di Spanyol/Andalusia dan daulah Abbasiyah yang berpusat di Baghdad.
Pertanyaan besar pun muncul: kenapa umat Islam terbelakang? Banyak pakar menjawab, termasuk As-Sakib Arsalan dalam bukunya: “Limadza taakhkharal muslimun wa limadza taqoddamu ghairuhum?” menegaskan bahwa umat Islam terbelakang karena meninggalkan Alquran.
Hal ini berlasan mengingat kemajuan umat Islam di masa lampau juga dimotivasi oleh pemahaman mereka terhadap ayat-ayat Alquran. Ibn Sina, misalnya, dunia lebih mengenalnya sebagai tokoh di bidang ilmu kedokteran, tetapi pada usia 10 tahun ia telah hafal Alquran. Begitu pula Ibn Rasyd yang dikenal dengan ahli filsafat dan tokoh pembaharu di Spanyol, ternyata ia ahli di bidang Fiqh dengan kitab Bidayatul Mujtahid-nya.
Masih banyak tokoh-tokoh intelektual muslim yang berpengaruh di bidang sains. Namun sebelum mereka mempelajari beragam ilmu di bidang sains itu, terlebih dahulu mereka mempelajari Alquran dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya. Dengan begitu, Alquran menjadi motivasi bagi mereka untuk mengkaji dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Selain itu, wahyu pertama sekaligus perintah pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW adalah perintah membaca (surat al-‘Alaq ayat 1-5). Agaknya, suatu perintah yang aneh ketika itu, sebab masyarakat Arab tidak peduli terhadap aktivitas membaca.
Apalagi budaya mereka yang mementingkan daya ingat (hafalan); muncul rasa malu jika syair-syair yang mereka bacakan dengan melihat teks yang ditulis. Bagi mereka, membaca yang tertulis merupakan lemahnya daya ingat seseorang.
Namun, perintah membaca dari ayat pertama Alquran yang diturunkan tersebut telah menjadi fondasi utama bagi umat untuk membangun suatu peradaban. Membaca yang dimaksud tidak hanya ditujukan kepada ayat-ayat qauliyah (Alquran) yang tertulis saja, tetapi membaca ayat-ayat kauniyah (alam).
Sebab secara garis besar, ayat-ayat tersebut ada dua, yaitu ayat-ayat qauliyah, yaitu Alquran, dan ayat-ayat kauniyah, yaitu fenomena alam semesta. Biasanya ayat-ayat qauliyah melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang bersifat keislaman, seperti tafsir, ilmu fiqh, ‘ulumul qur’an dan sebagainya yang selanjutnya masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan “ilmu agama”.
Sedangkan ayat-ayat kauniyah akan melahirkan berbagai disiplin ilmu seperti sains, sosiologi, psikologi, dan sebagainya yang selanjutnya masyarakat sering menyebutnya dengan “ilmu umum”. Padahal kedua istilah tersebut—ilmu umum dan agama—tidaklah tepat karena dapat menimbulkan dikotomi ilmu. Hal ini berangkat dari pemahaman akan sumber kedua bentuk ilmu tersebut, yaitu sama-sama berasal dari Allah SWT.
Dengan demikian, perintah membaca sebagai wahyu pertama sekaligus perintah pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan bahwa ayat-ayat qauliyah turut mendorong manusia untuk membaca dan menelaah ayat-ayat kauniyah.
Sebaliknya, ayat-ayat kauniyah juga mendorong manusia untuk merenungkan ayat-ayat qauliyah. Sebab ketika kita menyaksikan berbagai fenomena alam, dengan sendirinya muncul kesadaran bahwa apa yang disaksikan merupakan sebagian kecil dari bukti kekuasaan Allah SWT. Semuanya adalah ciptaan Allah, dalam pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Al-Qur’an memang bukan kitab ilmiah (science), sebab yang disebut ilmiah adalah produk akal manusia serta bersifat relatif dan berubah-ubah. Sementara al-Qur’an merupakan wahyu Allah SWT yang memiliki kebenaran mutlak. Meskipun demikian, ayat-ayat al-Qur’an mengandung isyarat-isyarat ilmiah, sehingga setiap orang yang mengkajinya akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemaslahatan umat.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa temuan ilmiah mutakhir ternyata relevan dengan ayat-ayat Alquran. Dalam surat al-Furqan ayat 53, misalnya, Allah berfirman: “dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi”.
Ternyata ayat di atas dibuktikan dengan penemuan air tawar yang terdapat di lautan. Dr. Amal al-Iraqi di Saudi Arabia bersama peneliti Perancis Pierre Becker dan Thierry Carlin menemukan bahwa di sepanjang dasar laut Merah yang asin terdapat beribu-ribu titik sumber mata air tawar.
Sumber air ini terus-menerus mengeluarkan air tawar dan tidak bercampur dengan air laut di sekitarnya yang asin. Peneliti asal Perancis ini juga menyebutkan titik itu terdapat di seluruh laut dunia. Menurut mereka, hal ini bisa terjadi karena di zaman purbakala, mata air ini berada di daratan, karena gerakan geologis daratan tadi terbenam, tetapi tidak menghentikannya dalam memancarkan air tawar.
Air tawar yang dipancarkan dengan tingkat keasinan (sanitasi) kurang dari 1,4 gr/liter dan temperatur 170C. Debitnya dimusim panas 80 liter/detik dan di musim lain 120-150 liter/detik. Dengan teknologi khusus, air tadi tinggal dialurkan melalui pipa atau dikemas dalam botol.
Masih banyak contoh ayat lain yang relevan dengan temuan ilmu pengetahuan. Sayangnya, banyak kasus yang menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan mutakhir tersebut justru ditemukan oleh ilmuan non-muslim, setelah mereka menemukan, barulah umat Islam menyadari bahwa Alquran pun berbicara tentang temuan tersebut. Idealnya suatu temuan ilmiah dihasilkan oleh ilmuan muslim karena didorong oleh bacaan dan pemahaman mereka terhadap ayat-ayat Alquran.
Karena itu, kajian Alquran mesti dibudayakan, terutama di lembaga pendidikan formal. Namun ironis, lembaga pendidikan yang berkembang, meskipun peserta didiknya mayoritas beragama Islam, cenderung mengabaikan kajian terhadap Alquran.
Paradigma ilmu yang dikembangkan pun bersifat dikotomis. Bahkan yang lebih ekstrim, ada yang berpendapat bahwa jangan campur adukkan antara Alquran sebagai wahyu yang bersifat transcendental dengan kajian ilmu pengetahuan (science), sebab Alquran bisa merusak objektivitas pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Padahal, dalam perspektif Islam, ilmu itu bukan bebas nilai, tetapi bebas dinilai. Artinya, pengembangan ilmu pengetahuan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini pula yang tersirat pada surat al-‘Alaq ayat 1. Membaca dengan bismi rabbika (dengan menyebut nama Tuhanmu) merupakan syarat untuk membaca dan mengembangkan ilmu pengetahuan, yaitu karena Allah dan mesti sejalan dengan aturan Allah.
Selain itu, ayat-ayat Alquran sebagai ayat-ayat qauliyah tidaklah bertentangan dengan temuan ilmiah yang banyak berkembang dari ayat-ayat kauniyah. Ahmad Baiquni pernah menegaskan bahwa jika terjadi ketidak sesuaian antara ayat-ayat Alquran dengan temuan ilmiah, kemungkinan disebabkan oleh dua hal, yaitu: pertama, temuan ilmiahnya keliru, atau kedua, manusia belum mampu memahami ayat-ayat Alquran tersebut.
Jadi, Alquran mesti menjadi spirit bagi umat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik yang bersifat qauliyah maupun kauniyah. Keduanya sejatinya dikaji dan dikembangkan secara seimbang, sehingga corak ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan dihasilkan oleh umat Islam bersifat teo-antropocentris. Maksudnya ilmu pengetahuan yang dikembangkan tersebut mengandung nilai-nilai keilahiyahaan dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, ilmu tersebut akan menjadi kebangikatan bagi umat Islam itu sendiri.
Jika umat Islam masih mengabaikan Alquran maka kebangkitan umat Islam hanya angan-angan belaka. Alquran memang diakui sebagai kitab petunjuk dan penyelamat bagi umat Islam. Tetapi banyak di antara umat Islam tidak lagi menelaah kandungannya untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Alquran kadang diperlakukan hanya sebagai hiasan lemari, diakui kesuciaannya tetapi kandungannya tidak menjadi pedoman hidup. Kandungannya yang sarat dengan ilmu pengtahuan tak mampu diangkat kepermukaan, sehingga Alquran bagaikan mutiara yang terpendam di dasar lautan.
Ingatlah pesan Nabi SAW: Aku tinggalkan bagimu dua perkara, jika kamu berpegang teguh kepada keduanya kamu tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul(hadits). Dan janganlah menjadi umat seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya: Berkatalah Rasul: Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an itu sesuatu yang tidak diacuhkan (Al-Furqan ayat 30).
Atau jangan sampai kita termasuk kelompok yang disinggung Allah: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran ataukah hati mereka terkunci? (Qs. Muhammad/47: 24). Wallahu a’lam.
MUHAMMAD KOSIM
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar