KOTA SOLOK
SOLOK - Kemacetan ternyata tidak hanya milik kota-kota besar. Kesemrawutan juga tidak identik dengan kota metropolitan. Kota-kota kecil seperti Solok, misalnya, juga tengah menikmati trend kemacetan. Pemerintah kota setempat, kelihatan seperti kewalahan atau bahkan bisa dikatakan hilang akal untuk mengurai kusut masai kondisi kota yang terkesan terus mengecil akibat pertambahan pengunjung. Suasana kota Solok hari ini, harusnya tidak serumit yang dibayangkan, sama tidak boleh mengatakan gampang untuk mengelolanya. Kota Solok hari ini, saban sore hingga lepas waktu magrib, arus kendaraaan terus menguasai badan jalan. Sementara kebutuhan masyarakat akan transportasi terus meningkat. Kota Solok telah menunjukkan dirinya sebagai kota salah urus. Salah satu penandanya adalah kemacetan semakin tidak terbendung. Suasana itu semakin basilemak dengan lokasi parkir yang seolah berebut lahan dengan pedagang kakilima kala sore menjeput kelam. ‘’Sepertinya Pemkot Solok tidak bekerja ya? Kalaupun ada aktivitas, kecendrungannya mengikuti pola kerja konventional. Mengerjakan apa yang telah ada saja. Hampir tidak ada inovasi,’’ aku Masrizal Chaniago, salah seorang perantau Solok yang menyempatkan pulang kampung hari raya Idul Fitri tempo hari. Ungkapan salah urus, tidaklah berlebihan. Sangat realitis jika dihubungkan dengan sejumlah kesan yang diungkapkan oleh banyak pengunjung. Mereka umumnya menilai kemacetan Solok justru karena pejabat kota yang kurang cerdas dalam pengelolaan manajeman tata ruang kota. Bukan untuk mengungkap borok pemerintah kota, tetapi kenyataan mengatakan perkembangan warna kota tidak beranjak dari tahun ke tahun. Sebagai kota perdagangan, kota Solok mestinya menguasai pusat perbelanjaan di sejumlah titik yang masih memungkinkan untuk dikembangkan. Tidak melulu membangun fasilitas perbelanjaan di sekitar pasar raya Solok. Tetapi kesan yang ada saat ini, dinamika kota Solok hanya di seputaran pasar raya. Kalaupun menyebar hanya terlihat di sepanjang pertokoan bundo kandung dengan segala persoalannya, termasuk areal parkir yang tak berketentuan di pinggir jalan. Suasana seperti ini juga sudah menjadi kebiasaan di ruas Jalan Soekarno Hatta. Ratusan kendaraan terlihat antre hingga akhirnya membeku tiada gerak. Terhadap desah buruk kota Solok, Wakil Wali Kota setempat Zul Elfian yang sengaja disambangi Singgalang di ruang kerjanya, baru-baru ini, mengaku bukan tidak gelisah dengan kondisi seperti itu. Ia bahkan sangat menyadari kota Solok tidak bisa diperbiarkan seperti itu tanpa adanya perbaikan dengan berbagai langkah cerdas. ‘’Kita senang kota solok berkeembang sebagai bentuk pergerakan perekonomian yang tinggi. Tetapi di baliknya juga menyimpan kegelisahan terhadap kesemrawutan,’’ kata Zul Elfian. Untuk mengurai kusutnya arus transportasi di jantung kota yang berhimpitan dengan kemacetan lalulintas, ke depan pihak Pemko bakal membuka jalur simpang bioskop raya menuju stasiun keretapi. ‘’Dengan alternatif perluasan jalan lingkar pusat kota itu diharapkan kesemrawutan akan bergeser lapang,’’ tuturnya. Ditengarai, kesemrawutan kota Solok juga dipicu oleh pertambahan jumlah penduduk. Fenomena itu salah satunya disebabkan oleh faktor teori ada gula ada semut. Ketika gairah ekonomi semakin meningkat, akan memicu orang untuk datang mengadu nasib. Hal ini menimbulkan dampak adanya kepadatan penduduk, yang berimplikasi kepada masalah-masalah pemenuhan kebutuhan. Menjawab Singgalang soal wacana penyebaran titik konsentrasi kunjungan pasar sampai ke wilayah terminal Bareh Solok, Wakil Walikota Solok yang notabene mantan Asisten II Setdako setempat mengaku tetap terbuka program pengembangan ke arah itu. Bahkan untuk mengakali tersumbatnya keramaian di seputar pasar raya, pihak Pemko telah mencadangkan lahan seluas 1 hektare untuk pengembangan pasar grosir di sebelah terminal bus yang seolah mati suri itu. ‘’Kita ke depan memprogramkan pasar grosir di lahan 1 hektare yang telah dicadangkan untuk itu,’’ paparnya. Namun dengan pembangunan pasar grosir saja tentu belum mampu mengurai kusut masai pasar raya Solok yang melahirkan kesemrawutan di sepanjang pertokoan Bundo Kandung. Kondisi tak berketentuan itu juga dapat dirasakan di sepanjang jalan Soekarno hingga ke simpang Denpal, sama kusutnya dengan jalur transportasi arah ke Air Mati dan atau ke ruas Pandan Ujung. Kepadatan lalulintas itu semakin mengkristal pada setiap bulan Ramadhan dan puncaknya terjadi saat lebaran tiba. Suasana jantung kota Solok benar-benar berada di titik jenuh kemacetan. Dalam suasana seperti itu, sangat kuat argumentasinya kalau kemudian ada yang menyebut aparat Pemko Solok seolah tidak bekerja. Pejabat Pemko Solok bahkan seperti gembira melihat kota yang penuh sesak dan seolah hanya ingin menyebut bahwa kota Solok benar-benar telah maju pesat. Seyogyanya, dalam memaknai refleksi 1 tahun kepemerintahaan Walikota-Wakil Walikota Irzal Ilyas-Zul Elfian di periode 2010-2015, Pemko Solok harusnya memikirkan bagaimana mengurai konsentrasi kunjungan pasar raya ke wilayah Terminal Bareh Solok dengan cara membenahi segitiga jalan protokol antara Pandai Air Mati ke Simpang Lampur Merah By Pass Simpang Rumbio-Simpang Pandan Ujung dan kembali ke Simpang Sentral di depan Bioskop Karia. Dengan kebijakan membenahi jalan dimaksud menjadi ruas dua jalur, yang dikuatkan dengan penataan tata ruang wilayah, kelak diyakini dengan sendirinya para pedagang akan menyebar, yang akan diikuti oleh penyebaran konsumen yang juga akan terpecah dan tidak lagi terpusat di sekitar pasar raya Solok. Tapi, kalaupun gagasan ini dianggap sebuah keniscayaan, setidaknya kita telah berpikir untuk perubahan kota Solok ke depan. (rusmel dt. sati) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar