Banjir, adalah cerita lama dan selalu menjadi momok dari kota-kota dan berbagi daerah di Indonesia setiap musim hujan datang. Hari-hari belakangan adalah hari yang sarat dengan pemberitaan soal banjir yang melanda di sejumlah daerah. Istilahnya, saat ini adalah “bulan gampang dapat banjir”.
Skala banjir yang melanda juga beragam, mulai dari rutinitas yang sudah dianggap “air mandi” oleh warga, sampai yang tarafnya sudah menjadi bencana yang yang merenggut nyawa.
Lagi-lagi, Sumatra Barat, daerah yang dianalogikan sebagai “swalayan” bencana mendapat bagian yang berat itu. Pesisir Selatan, Kamis lalu dilanda banjir besar yang menghanyutkan dan merusak ribuan rumah, merusak infrastruktur, dan melanyau lahan pertanian.
Diluar itu yang lebih memilukan, ada jiwa yang tercabut oleh bencana kali ini. Untuk kesekian kalinya daerah ini harus bertarung dengan bencana.
Namun demikian, kembali ke pertanyaan pokok. Kenapa banjir itu terjadi. Diluar kemampuan kita sebagai manusia, bencana itu memang sudah kehendak Sang Pencipta. Terserah kita untuk menilai apakh itu sebuah “teguran” lagi untuk kita yang semakin tak bersahabat dengan alam.
Hal ini perlu dicermati dan diketahui oleh semakin banyak orang sehingga tingkat kesadaran kita akan lingkungan akan semakin baik. Memang penyebab utama dari banjir kita, selain dari permukaan tanah yang semakin rendah, kurangnya daerah terbuka hijau untuk resapan baik publik maupun di rumah masing-masing, adalah kesadaran membuang sampah sembarangan, adalah contoh kecil kita tak memesrai alam.
Sederhananya, mungkin kalau semua orang bisa mengurangi atau berhenti membuang sampah sembarangan pun akan sangat-sangat membantu mengurangi banjir, bukan menghentikan banjir.
Sudah sering kita dengar bahwa kota-kota besar semakin lama semakin banjir. Kalau Jakarta karena ibukota jadi jangan ditanya, karena sudah pasti nomor satu dan jagoan banjir.
Kota-kota lain pun, termasuk Padang kita ini, berpacu untuk mengikuti perkembangan Jakarta dan juga jadi semakin banjir. Buktinya, saat ini hujan sudah menjadi momok bagi warga. Jika intensitas hujan tinggi, hampir dipastikan akan ada banjir di sejumlah titik rawan.
Sebaiknya, mari kita mulai dari hal kecil saja, misalnya tidak boleh buang sampah sembarangan. Karena semua sampah dan air kita akhirnya akan bermuara dari got, ke sungai, dan akhirnya ke laut.
Jangan salahkan hujan, karena air hujan pada hakekatnya merupakan berkah dari “langit” yang dimampukan dengan adanya siklus air di Bumi kita ini. Air hujan adalah bagian dari siklus air terus menerus ada karena siklus tersebut. Jalanan banjir!. Drainase tak berfungsi!. Sampah tutupi pintu air!. Musim banjir datang lagi!. Pemerintah tidak siap hadapi musim hujan!.
Itu adalah kata-kata yang sering dilontarkan media maupun masyarakat kalau banjir sudah datang. Tetapi terlalu banyak orang yang tidak mau tahu, tidak peduli yang penting tidak banjir. Tetap saja buang sampah sembarangan, tetapi tidak mau banjir. Kalau tidak introspeksi diri kita masing-masing, negara manapun tidak akan sanggup menghadapi permasalahan perkotaan di Indonesia ini kalau masyarakatnya hanya bisa protes dan demo tanpa mau sadar dan memperbaiki diri.(*)
Skala banjir yang melanda juga beragam, mulai dari rutinitas yang sudah dianggap “air mandi” oleh warga, sampai yang tarafnya sudah menjadi bencana yang yang merenggut nyawa.
Lagi-lagi, Sumatra Barat, daerah yang dianalogikan sebagai “swalayan” bencana mendapat bagian yang berat itu. Pesisir Selatan, Kamis lalu dilanda banjir besar yang menghanyutkan dan merusak ribuan rumah, merusak infrastruktur, dan melanyau lahan pertanian.
Diluar itu yang lebih memilukan, ada jiwa yang tercabut oleh bencana kali ini. Untuk kesekian kalinya daerah ini harus bertarung dengan bencana.
Namun demikian, kembali ke pertanyaan pokok. Kenapa banjir itu terjadi. Diluar kemampuan kita sebagai manusia, bencana itu memang sudah kehendak Sang Pencipta. Terserah kita untuk menilai apakh itu sebuah “teguran” lagi untuk kita yang semakin tak bersahabat dengan alam.
Hal ini perlu dicermati dan diketahui oleh semakin banyak orang sehingga tingkat kesadaran kita akan lingkungan akan semakin baik. Memang penyebab utama dari banjir kita, selain dari permukaan tanah yang semakin rendah, kurangnya daerah terbuka hijau untuk resapan baik publik maupun di rumah masing-masing, adalah kesadaran membuang sampah sembarangan, adalah contoh kecil kita tak memesrai alam.
Sederhananya, mungkin kalau semua orang bisa mengurangi atau berhenti membuang sampah sembarangan pun akan sangat-sangat membantu mengurangi banjir, bukan menghentikan banjir.
Sudah sering kita dengar bahwa kota-kota besar semakin lama semakin banjir. Kalau Jakarta karena ibukota jadi jangan ditanya, karena sudah pasti nomor satu dan jagoan banjir.
Kota-kota lain pun, termasuk Padang kita ini, berpacu untuk mengikuti perkembangan Jakarta dan juga jadi semakin banjir. Buktinya, saat ini hujan sudah menjadi momok bagi warga. Jika intensitas hujan tinggi, hampir dipastikan akan ada banjir di sejumlah titik rawan.
Sebaiknya, mari kita mulai dari hal kecil saja, misalnya tidak boleh buang sampah sembarangan. Karena semua sampah dan air kita akhirnya akan bermuara dari got, ke sungai, dan akhirnya ke laut.
Jangan salahkan hujan, karena air hujan pada hakekatnya merupakan berkah dari “langit” yang dimampukan dengan adanya siklus air di Bumi kita ini. Air hujan adalah bagian dari siklus air terus menerus ada karena siklus tersebut. Jalanan banjir!. Drainase tak berfungsi!. Sampah tutupi pintu air!. Musim banjir datang lagi!. Pemerintah tidak siap hadapi musim hujan!.
Itu adalah kata-kata yang sering dilontarkan media maupun masyarakat kalau banjir sudah datang. Tetapi terlalu banyak orang yang tidak mau tahu, tidak peduli yang penting tidak banjir. Tetap saja buang sampah sembarangan, tetapi tidak mau banjir. Kalau tidak introspeksi diri kita masing-masing, negara manapun tidak akan sanggup menghadapi permasalahan perkotaan di Indonesia ini kalau masyarakatnya hanya bisa protes dan demo tanpa mau sadar dan memperbaiki diri.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar