Sumatera Barat adalah negeri yang paceklik akan investasi. Kalau diibaratkan “lapau”, daerah awak ini bagai lapau yang redup dan balangau, sementara investor adalah orang belanja. Berpikir dua kali orang datang belanja kemari. Sementara lapau lapau tetangga, seperti “Lapau Riau”, “Kadai Jambi”, bahkan “Toko Sumsel”, bersilingkit orang berjualbeli. Tak terambik-ambik-an pesanan orang dek penggalas. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi di daerah (lapau) tetangga, luar biasa pesatnya. Naik turun jakun-jakun awak dek menciragut.
Membincangkan kondisi negeri awak dengan negeri tetangga serasa pekerjaan awak membelah buluh. Yang satu, daerah orang, diangkat, disanjung-sanjung, yang satunya lagi, kampung halaman awak, diinjak di telapak kaki. Pahit dan ngilu di dalam. Tapi, apa yang akan disurukkan lagi? Tidak bersuluh batang pisang, tapi bersuluh bulan dan matahari, bergelanggang mata rang banyak. Awak memang semakin hari semakin terpuruk. Sudahlah sumber daya alam tak berpotensi ekonomis alias tak produktif, sumber daya manusia yang mengasuh kondisi permodalannya pun “tragis”.
Lihatlah perjanjian-perjanjian kerja sama, semuanya seperti tergaing. Tergantung tak bertali. Pernah mengerdip, tapi tak kunjung menyala. Betapapun kepala daerah merontak-tojak melambai lambai investor, begitu orang singgah secercah.
Baru sedikit menyemai kecambah, masyarakat dan pemerintah langsung berulah. Ada yang mematah, ada pula yang datang menadah, seperti minta sedekah. Diberi, susah, tak diberi payah. Akhirnya, tak tahan, mereka segera “tabang hambur”, menyumpah-nyumpah sambil meludah.
Beberapa investor telah merasakan betapa carut-marutnya kondisi penanaman modal di daerah ini. Baru mereka memperlihatkan kesungguhan, keberadaan mereka seperti tak lagi dilindungi. Investor yang sudah mengucurkan uang, dibiarkan terganggu dengan berbagai problematis. Bahkan, (maaf) seolah-olah dibiarkan(dinikmati?) dia teraniaya.
Contoh yang paling signifikan, Basko Grup, yang secara nyata memperlihatkan buah semangatnya bergemuruh di negeri orang. Konon, dengan berbagai janji memberi fasilitas, beberapa tahun lalu, Basko diundang oleh “petinggi petinggi” senior daerah ini.
Terbit minat beliau melihat kiprah pengusaha “urang awak” ini membangun kampung orang. Betapa tidak. Kiprahnya itu terbukti ikut menopang derap ekonomi masyaraat yang menanjak. Disapalah Basko. Dipinang kepeduliannya.
Diketuk pintu hati pengusaha awak kreatif ini. Bangun juolah di kampuang awak Bas. Pulanglah. Kito permudah urusan birokrasi dan sagalo macamnyo. Indak kaado nan mahalang doh. Awak di kampuang awak.
Basko datang. Dengan ikhlas dan yakin akan penerimaan orang kampungnya. Dia langsung membuktikan dirinya. “Urang Minang nan mambangun ranah Minang”. Lihatlah contoh konkretnya, Basko membuat kawasan redup lengang, jadi terang benderang.
Dibangunnya mall besar. Hotel berbintang lima. Terserap olehnya ratusan tenaga kerja yang kesemuanya putra-putri daerah. Ratusan miliar investasi ditanam. Bak bunga yang selalu disiram, ianya mekar, berkembang. Ini baru awal. Banyak lagi yang akan dibangunnya.
Tapi, kita lihat dengan kasat mata, kemaren siang. Ada bisikan angin prahara di langit kota. Ratusan orang, entah siapa yang merangsang, “tanpa “hek” dan “hok”, datang mencucukkan pancang.
Tak tahulah, kenapa mereka jadi demikian taburansang? Padahal, ada polisi, ada keamanan, berdiri seolah-olah tak ambil perduli. Suasana panas dan nyaris mendidih. Sebuah ancaman “perang” terkangkang. Untung tangan tak sempat terjambau. Kaki tak sempat menendang.
Di ruang kerjanya Basko tersedak. Matanya membinar. Mungkin dia sedih. Tapi, yang pasti, dia kecewa. Kecewa berat. Betapa tidak? Areal tempat usahanya diganggu. Menurut hematnya, selama ini dia tak pernah menggangu orang. Di kampunya, dia rasa dipermalukan. Tamu-tamu hotelnya dan pengunjung mall yang sedang menikmati kenyamanan istirahat dan berbelanja, terganggu. Areal mana telah mengubah wajah Padang.
Terancam oleh seratusan orang yang membawa palu dan godam. Tanpa salam. Sebuah plang larangan “Dilarang masuk” ditegakkan dengan kokoh. Dilarang masuk ke tempat orang membayar kenyamanan?
Duh. Sudah demikian benarkah buntunya alur mufakat kini? Sehingga, sekelompok orang dari institusi resmi sekelas PT KAI perlu datang seperti orang berdemonstrasi. Padahal, ada jalur resmi.
Kalau masalah tanah, ada Dinas Pertanahan. Masalah hukum, ada pengadilan. Kita bukan orang orang liar mentah yang bertindak mendahulukan otot. Kita orang-orang intelek, yang bertindak berdasarkan otak. Kita badunsanak.
Kalau mendahulukan musyawarah, tak ada kusut yang tak selesai. Tak ada keruh yang tak terjernihkan. Mari, duduk satu meja. Ambil carano, cabik sirih, getaplah pinang. Lapangkan dada, dinginkan kepala. Percayalah. Tidak uang yang akan membuat awak terbelah berbahala. Tapi, pengertian.
Saudaraku di KAI Sumbar. Sepengetahuan ambo, dan banyak pengamat ekonomi berpandangan sama, Basko itu penanam modal yang beritikad baik pada daerah kelahirannya (kampuang awak). Dia sudah berbuat. Ada yang tersendat. Selesaikan saja semuanya dengan cermat. Jangan hadapi dunsanak dengan mata merah dan menggeritihkan geraman.
ALWI KARMENA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar