Tradisi mudik ternyata ada juga di Korea. Konon, tradisi ini dimulai orang Indonesia. Kota Ansan, sebuah kota menjadi tujuan tradisi mudik itu. Kota ini Indonesia banget.
Ansan, siapa orang Indonesia di Korea yang tak kenal nama itu? Kota di bibir pantai Laut Kuning, arah selatan Seoul itu memang bukan daerah asing, terutama bagi para buruh migran termasuk para TKI. Kota Ansan didirikan 25 tahun lalu, sesuai usianya, kota ini kelihatan enerjik, hidup dan penuh gejolak. Tak ada yang stagnan di sini, bahkan papan reklame pun penuh di seantero kota. Silih berganti memenuhi ruang, dinding dan tembok-tembok jalan. Ansan, dikenal juga sebagai Las Vegas-nya Korea.
Jumlah orang asing nyaris melebihi jumlah penduduk asli. Kota ini cukup padat. Pada tahun 2002, karena populasinya melewati 500.000, maka kota yang luasnya sekitar 55 mil ini kemudian dibagi menjadi dua distrik, Danwon dan Sangnok. Penyebab tingginya populasi penduduk tentu bukan karena tingginya angka kelahiran, tetapi karena pertumbungan industri dan kebutuhan akan tenaga kerja yang tinggi. Jadi banyak orang tersedot datang dari segala penjuru.
Banyak transportasi yang bisa membawa kita dari Seoul menuju Ansan. Subway jalur 4 hanya memakan waktu tak lebih setengah jam, bus patas ada, bus biasa juga banyak. Begitu turun di yok (stasiun kereta bawah tanah), maka pemandangan kota yang ramaipun menyambut kita. Pedagang emperan bersorak menawarkan diskon barang, mulai dari kosmetik murahan dari China, sampai ikan, cabe bawang dan beragam buah serta sayuran. Tentu saja juga kacang rendang, jagung bakar, sate ayam dan jajanan pasar lainnya.
Toko-toko kecil menjual berbagai barang eletronik (baru dan bekas), konveksi, makanan impor, bar-bar murah juga pedagang nomor buntut lotto (kalau di Indonesia sejenis togel kali ya?) juga berjejer penuh di kiri kanan jalan, membentuk lorong-lorong tak berkesudahan.
Di sini pulalah tempatnya berburu barang eletronik BM (blackmarket) yang terkenal murah meriah, namun terkadang bikin mumet karena tanpa garansi dan rusak mesti tanggung sendiri. Hampir di kebanyakan toko Anda tidak akan kesulitan bertemu dengan orang Indonesia, baik yang berjualan maupun yang membeli. Tegur sapa dalam bahasa Jawa, Sunda, Lombok meningkahi obrolan dalam bahasa Indonesia, India, Philipina ataupun Korea. Suasananya sungguh tak jauh beda dengan hiruk pikuk Pasar Rumput, Jati Negara atau Tanah Abang Jakarta.
"Cari HP apa mo beli nomor Mbak?" tanya seorang penjual di konter HP saat saya mampir. Di depan saya ada seorang laki-laki yang sedang membeli pulsa simpati.
"Lo, jual pulsa Indonesia juga ya?" tanya saya.
"Ya, semua kita punya. XL, Simpati, dan Mentari. Biasanya buat dikirim ke famili di kampung," jawab si penjaga konter, perempuan muda berusia sekitar 25 tahunan itu.
"Harganya?"
"Tarif Indonesia lah. Pembeli kan nggak mau rugi juga," jawabnya tersenyum.
Tak berapa jauh dari lorong penjual HP, berderet pula warung makan seperti warteg. Di sini bisa memesan makanan mulai dari pecel lele sampai rendang. Juga es campur, wedang jahe atau teh manis biasa. Tetapi sejauh ini belum ada yang buka Restoran Padang di Ansan maupun di daerah lain di Korea.
Datang ke Ansan memang seolah-olah kita merasa berada di Indonesia. Seperti pulang kampunglah kira-kira rasanya. Tak ada warung Padang, wartegpun cukuplah untuk menghibur hati. Saking bersemangatnya bertemu warung Indonesia, saya memesan seporsi rendang dan semangkok gulai kambing juga semangkok bakso. Tak lupa juga segelas es kelapa muda. Semua pesanan ada dalam daftar menu. Harga masing-masing jenis makanan rata-rata sama, 6500 won (sekitar 50 ribu rupiah). Dan dengan sedikit kecewa terpaksa saya akui kalau rasa rendangnya tak sama dengan yang dijual di Restoran Sederhana atau Restoran Selamat di Pasar Raya Padang. Kelapa mudanya, pastilah dari minuman kaleng yang ditambah es.
"Maklum Mbak, yang masak ajumma (one-one) Korea kok. Ke sini sebenarnya buat jajan suasananya aja," ujar Jehun Hamid, seorang kenalan yang menemani saya ke Ansan sore itu. Itu memang saya akui. Warteg yang saya masuki itu disulap se Indonesia mungkin. Suara artis dangdut Ria Amelia terdengar gaduh mengumandangkan lagu bang es em es siapa ini bang…
mengalahkan suara para pemain sinetron di Indosiar. Nasi juga dihidangkan dalam bakul anyaman bambu.
Kota ini, khususnya di seputaran Kota Ansan, memang Indonesia banget. Semberawut, agak kotor dan terkesan liar. Di sini sering terjadi tawuran antar pekerja migran. Di samping barang-barang gelap (BM) juga banyak berkeliaran imigran gelap. Tentu saja juga ada pencopet, pengemis dan gelandangan. Pada hari-hari istimewa, seperti pada saat peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus, perhimpunan buruh-buruh Indonesia sering menggelar acara dan lomba-lomba di lapangan di tengah pasar. Juga mengundang artis-artis dari Indonesia. Begitu juga pada peringatan hari besar Islam seperti Idul fitri, mereka akan mengundang ustad kondang dari Indonesia. Begitulah cara buruh-buruh (TKI) kita di sini menghibur diri. Kalau datang ke Korea, jangan lupa main ke Ansan ya!
LAPORAN: KABA'TI DARI KOREA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar