Di Sumatera Barat, konflik tanah tersebut sering terjadi bahkan berujung pada tindakan kekerasan. Terakhir, antara petani dengan perusahaan pengembang sawit yang terjadi pekan pertama November 2011 lalu di Jorong Maligi, Kenagarian Sasak, Kecamatan
Sasak Ranah Pesisir Kabupaten Pasaman Barat. Sebuah persoalan serius yang harus diselesaikan dengan cepat, kalau tidak akan banyak memakan korban.
Suatu hal yang tak bisa terbantahkan sampai sekarang ini kalau kita sigi dari perspektif historis dalam memahami persoalan konflik tanah bahwarakyat badarai selalu pihak yang dirugikan. Fenomena ini sudah terfondasikan pada masa jauh sebelum negara kita terbentuk bahkan dalam bentuk kerajaan persoalan tersebut sudah muncul. Dengan sistem politik yang sentralistik, telah memungkinkan terbentuknya pola hubungan agrarian mengikuti pola hubungan feodal dalam kerajaan yakni tanah adalah milik raja. Rakyat hanyalah pengarap tanah dan hanya berhak meminjam saja.
Masa pemerintahan Belanda, nampaknya tak jauh berbeda kondisinya dimana rakyat masih dalam posisi yang dirugikan. Dengan sistem ekonomi uang yang dikembangkannya telah memungkinkan banyak tanah rakyat yang dijadikan tempat usahanya terutama untuk lahan perkebunan. Protespun dari rakyatpun tak dapat dihindarkan.
Dilanjutkan masa Orde Lama, di bawah kepempinan Soekarno. Permasalahan tanah nampaknya mulai agak membaik. Namun posisi petani masih pihak yang terugikan. Terutama dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Dari segi materi undang-undang ini telah cukup bisa dikatakan telah memenuhi keingginan dari masyarakat seperti adanya pengakuan terhadap hukum adat yang dijadikan sebagai dasar hukum tanah nasional. Selain itu dalam materi undang-undang ini juga mengatur tentang tanah sebagai fungsi sosial, dimana masyarakat boleh memiliki hak milik tetapi itu semua tidak boleh merugikan kepentingan umum. Hal lain yang paling utama dari itu semua adalah upaya untuk melakukan redistribusi tanah kepada masyarakat oleh negara atau yang sering dikenal dengan land reform. Namun dalam kenyataannya masih banyak penyimpangan yang dilakukan dalam melaksanakan undang-undang tersebut yang masih merugikan rakyat kecil. Apalagi PKI yang dekat dengan Soekarno telah menjadikan isu land reform ini sebagai isu politik sehingga tidak heran jika kemudian Soekarno menyetujui undang-undang agrarian tersebut.
Masa Orde Baru, konflik pertanahan yang muncul terutama antara rakyat dengan pemerintah. Muncul konflik tersebut disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut Pertama,pelaksanaan keharusan musyawarah antar panitia pembebasan tanah dengan pihak yang terkena pembebasan tanah. Kedua, penetapan ganti rugi yang sering dikatakan jauh dari memadai. Ketiga, pembayaran ganti rugi yang adakalanya mengalami keterlambatan. Keempat, prosedur ganti rugi tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Orde reformasi yang seharusnya merubah kesemuanya itu, namun apa yang terjadi pada masa sebelumnya tetap terjadi bahkan semakin kompleks. Rakyat masih dalam pihak yang terugikan jua. Menurut penulis, saat sekarang ini konflik tanah tersebut dapat kita bagi menjadi tiga yakni Pertama, antara sesama anggota masyarakat. Konflik antar sesama anggota masyarakat terjadi berkaitan dengan penguasaan oleh pihak yang tidak berhak, dalam arti orang luar masyarakat hukum adat tersebut. Konflik antar anggota masyarakat ini biasanya dapat diselesaikan secara bersama-sama dengan berperannya ninik mamak atau melalui proses peradilan.
Kedua, antar masyarakat hukum adat dengan pemerintah. Konflik ini dalam arti perjuangan pengakuan keberadaannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini terjadi karena ketentuan yang tidak memungkinkan masyarakat hukum adat akses ke tanah ulayatnya. Sebagai contoh dalam bidang kehutanan, selama ini masyarakat mengambil hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena sumber daya hutan mengandung kekayaan alam yang cukup besar, maka untuk meningkatkan nilai ekonominya dilakukan ekploitasi secara besar-besaran. Tentunya dalam eksploitasi yang demikian masyarakat yang sangat sederhana tersebut tidak tahu dan tidak mampu untuk akses. Ketidaktahuan dan ketidakmampuan masyarakat ini kurang atau hampir tidak dilirik, akibatnya mereka terabaikan atau terkesampingkan. Hal ini dapat diketahui dari HGU (Hak Guna Usaha) yang telah diberikan kepada pengusaha perkebunan. HGU diberikan dengan melakukan konversi hutan produksi untuk dijadikan areal perkebunan. Konversi hutan produksi untuk dijadikan areal perkebunan. Konversi hutan produksi untuk dijadikan areal perkebunan. Konversi hutan produksi berarti melakukan pengambilan hasil hutan berupa kayu, dan lainnya, maka perusahaan pemegang HGU yang diuntungkan.
Ketiga, antar masyarakat hukum adat dengan pengusaha (investor). Sesungguhnya dalam pembangunan perkebunan di Indonesia ini tidak begitu saja adanya namun dibingkai oleh payung hukum. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) d UU Nomor 5 Tahun 1960 menegaskan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persedian, peruntukan dan pengunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekeyaan alam yang terkandung di dalamnya untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perkebunan serta yang sejalan dengan itu. Dengan mengacu kepada isi pasal ini dan dikaitkan dengan Pasal 6 UUPA, maka dalam rangka meningkatkan produksi pertanian dilakukan pembangunan perkebunan.
Secara idealnya, kegiatan pembangunan ini dinyatakan yakni dilakuan dengan pelepasan tanah ulayat oleh masyarakat adat. Dinyatakan pelepasan oleh masyarakat dengan pemberian “siliah jariah” tidak dapat disamakan dengan jual beli, tetapi berarti siliah yang dilakukan oleh pihak lain kepada pemilik tanah selama tanah tersebut digunakan oleh orang lain. Tidak mengunakan selama waktu tertentu tersebut harus dibayar jariahnya. Siliah jariah tidak dapat dapat diartikan pelepasan tanah untuk selamanya. Karena pada masyarakat Minangkabau misalnya dikenal konsep “ kabau tagak kubangan tingga” artinya jika pihak luar yang menggunakan tanah tersebut tidak lagi mengunakan tanahnya, maka tanah tersebut kembali kepada masyarakat. Namun banyak sekali kejadian yang memperlihatkan kepada kita, protes yang dilakukan oleh masyarakat disekitar perkebunan misalnya akibat tindakan dari para investor yang merugikan masyarakat setempat.
Akhirnya, pada masa reformasi ini hendaklah mulai kita memikirkan bagaimana persoalan konflik tanah bisa diatasi. Untuk itu perlu kiranya semua elemen masyarakat yang ada, mulai bergendengan tanggan memecahkan persoalan konflik tanah sehingga tidak ada pihak yang terugikan lagi, rakyat badarai hidup dengan tentram, para investor senang menanamkan modalnya lagi. Sehinga memunculkan negeri kita yang benar-benar negeri yang terbebas dari persoalan konflik tanah. Wassallam.
UNDRI
(Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang)haluan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar