Berbagai elemen lintas organisasi masyarakat di Kota Padang mendeklarasikan berdirinya Barisan Dubalang Paga Nagari Sabtu (21/1) di Kantor LKAAM di Padang. Motif pendiriannya berangkat dari keprihatinan maraknya maksiat dan penyakit masyarakat di Kota Padang.
Pembentukan Barisan Dubalang Paga Nagari yang diprakarsai Irjen Pol (Purn) Drs. H. Dasrul Lamsuddin, mantan Kapolda Sumbar, didukung Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kota Padang dan Sumatera Barat, serta elemen masyarakat lainnya.
Menurut M Sayuti Datuk Rajo Pangulu, pucuk pimpinan LKAAM Sumatera Barat, jaringan kerja Barisan Dubalang Paga Nagari sampai ke tingkat RT. “Jadi setiap masyarakat dapat menangkap dan mengawasi orang-orang yang melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan adat dan agama. Setelah itu Barisan Dubalang Paga Nagari dan aparat akan memberikan hukuman dan sanksinya,” jelas M Sayuti Datuk Rajo Pangulu, Haluan, Sabtu (21/1).
Sayuti menjelaskan, setelah Barisan Dubalang Paga Nagari dideklarasikan, maka hukum adat dan sanksi adat akan diberlakukan kepada mereka yang melakukan perbuatan penyakit masyarakat.
Barisan Dubalang Paga Nagari tujuannya mengembalikan lagi aturan adat dan budaya Minangkabau di tengah masyarakat, kaum adat harus tegas dalam menindak siapa saja yang melanggar dan memberikan sanksi tanpa memandang siapa pelakunya.
Memang, semenjak dideklarasikan, pekan lalu, Barisan Dubalang Paga Nagari masih bersifat gagasan, belum masuk ke tahap bentuk operasional di lapangan. Namun berkaca pada kasus penangkapan dugaan mesum yang dilakukan sepasang insan manusia tanpa ikatan syah, dua hari lalu, Haluan, Selasa (23/1), di wilayah hukum Polsek Pauh, Padang, ternyata massa menuntut kedua pelaku dikenakan sanksi hukum adat yang berlaku di Minangkabau.
Kita ingin mencermati persoalan ini. Bukan posisi kita menentang maupun mendukung, ataupun menolak. Tetapi, beberapa hal persoalan ikutan setelah Barisan Dubalang Paga Nagari ini bekerja atau direalisasikan, yaitu koordinasi dan legalitas formal lembaga ini.
Fungsi yang akan melekat pada Barisan Dubalang Paga Nagari ini, jika diwujudkan di tengah masyarakat, jelas perannya sedikit mengambil peran pihak kepolisian dan Satpol PP. Dan ini akan menimbulkan benturan dengan berbagai pihak, termasuk korban yang diduga melakukan aktivitas mengganggu norma sosial.
Kerumitan lain akan mengemuka, saat hukum adat dan agama (Islam), betul-betul dilaksanakan. Tentu masalah benturan akan menjadi satu soal yang krusial.
Selain itu, lintas kerja sama antarsektor, misalnya polisi dan Satpol PP, kehadiran Barisan Dubalang Paga Nagari, juga akan merepotkan. Landasan hukum kehadiran Barisan Dubalang Paga Nagari menjadi sangat penting.
Lalu pertanyaan yang paling penting dan krusial, apakah hukum adat yang akan diterapkan bagi pelaku sesuai dengan hukum adat berlaku hanya di daerah atau nagari dimana peristiwa mesum itu terjadi.
Kita mengetahui, hukum adat sangat kontekstual. Masing-masing nagari—jika itu di Minangkabau—tentu berbeda-beda sanksi yang diterapkan. Dan ini tentu butuh rumusan dan formulasi.
Lalu siapa yang menjadi Barisan Dubalang Paga Nagari itu? Pertanyaan ini sangat penting. Karena latar belakang pendirian Barisan Dubalang Paga Nagari berangkat dari tatanan dan penilaian bahwa Pemerintah Kota Padang sudah gagal menangani penyakit masyarakat (pekat), sehingga ibukota Sumatera Barat ini nyaris seperti kota tak bertuan dan jauh dari nilai-nilai adat dan agama yang selama ini dianut oleh masyarakat Minangkabau.
Dalam deklarasi itu, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kota Padang, Prof H Zainuddin Datuk Rajo Lenggang juga mengatakan, kehadiran Barisan Dubalang Paga Nagari berangkat dari keprihatinan melihat tingkah dan perilaku serta gaya hidup masyarakat di Kota Padang sudah sangat kelewatan. Sudah tidak ada lagi kesadaran untuk menghindari hal-hal yang dilarang oleh adat dan agama Islam.
“Untuk itu, perlu kiranya dibangun secara informal potensi masyarakat untuk mengawasi maksiat yang tak bisa ditoleransi lagi. Barisan Dubalang Paga Nagari adalah jawabannya.”
Jika ini direalisasikan, sistem dan mekanisme kerja instansi dan aparat polisi, sedikit berbeda. Pada tingkat pelaksanaan hukum adat, bisa diterima jika hukum adat bersifat hukum nonfisik untuk mencapai efek jera. Sanksi adat diarak sekeliling nagari bagi pelaku maksiat, salah satu contoh hukum adat.
http://www.harianhaluan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar