TARI TAN BENTAN
Jundai lah jundai-jundai
edang sijundai enan siako nan punyo anak
nan bak rangguik tapian aia
Jundai nan baringin di tangah labuh
nampak nan dari bawah bukik
Jundai jo siapo bujang gaduh
Lai kok nan pulang lai ka nagari
Syair di atas merupakan dendang babakan kelima ‘Jundai’ tari Tan Bentan. Barangkali masih banyak masyarakat di Sumatera Barat (Minangkabau) yang tidak mengetahui tari Tan Bentan. Tari yang berasal dari nagari Saniangbaka, Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok. Dimainkan oleh tiga orang, diiringi satu pendendang sambil menabuh adok (rebana besar). Tan Bentan tersebut lazim disebut sebagai kisah perebutan Puti Bungsu, antara Cindua Mato dan Imbang Jayo.
Tapi saya punya satu cerita lain. Cerita yang saya dapat suatu petang di sekitar tahun 2000 lalu—hari, tanggal, dan bulannya kurang persis teringat. Dituturkan langsung oleh almarhum Manti Menuik (Angku Manti), guru tari Tan Bentan dan maestro seni tradisi Minangkabau, yang juga ayah kandung Ery Mefri koreografer nasional, ketika saya berkunjung ke rumahnya. Manti Menuik meninggal dunia pada 3 Agustus 2007 di Saningbaka, dalam usia 87 tahun.
“Saya dapat cerita tentang dari orang tua-tua dulu. Menurut mereka, jika kaba ini diceritakan ke masyarakat, tentu mereka tidak akan percaya,” kata Angku Manti. Lantas ia menjelaskan bahwa ada kisah lain dari cerita tentang Tari Tan Bentan yang berkembang di masyarakat luas. “Tari itu asal usul dari nagari ini (Saniangbaka), disamarkan menjadi kisah pertempuran antara Cindua Mato dan Imbang Jayo memperebutkan Puti Bungsu,” tegasnya waktu itu.
Lantas bertuturlah Angku Manti tentang cerita yang antah berantah, di tahun yang entah tentang sepasang suami istri yang dianggap nenek moyang orang nagari Saniangbaka. Mereka, suami istri yang hidup berpondok di sekitar bukit Gajah Dubalang, selatan nagari tersebut dan hidup dari bercocok tanam di ladang.
Dikarenakan sang istri cantik rupanya, maka tergodalah seorang dewa di langit untuk merebutnya dari tangan sang suami. Saat si suami pergi ke ladang, turunlah dewa dari langit tersebut hendak mengoda si istri untuk mempersuntingnya, tetapi ditolak. Sang dewa berniat lain, menculik paksa si istri, membawanya terbang ke langit.
Jerit si istri yang dibawa paksa ke langit terdengar si suami, maka si suami mengejar. Si suami dan dewa tersebut bersepakat untuk berkelahi, yang menang akan mendapatkan si istri. Pertempuran hebat pun terjadi, berhari-hari, berpindah pindah tempat dari langit ke bumi, tapi pada akhirnya dimenangkan oleh si suami, dan dewa pun harus kembali ke asalnya. Begitulah penggalan kisah yang diceritakan Angu Manti pada saya di petang itu.
Tari Tan Bentan dan Kaba
Dikarenakan cerita yang antah berantah tersebut, menurut Angku Manti, masyarakat tidak akan percaya. Maka ‘orang tua dulu’ menggubahnya menjadi cerita kaba ‘Cindua Mato’ yang sama mirip kisahnya.
Setidaknya ada lima babakan dalam tari Tan Bentan yang mengisahkan filosofi perjalanan Cindua Mato untuk merebut Puti Bungsu yang telah dibawa Imbang Jayo ke kerajaanya di Sungai Ngiang.
Adapun kelima babakan tersebut meliputi, (1) ‘Pado-pado’ yang merupakan gerak pembuka tari Tan Bantan. Gerakan ini pengungkapan filosofis; babuek baik pado-padoi, babuek buruak sakali jaan; yang akan mengantarkan kisah permulaan tari.
Dilanjutkan babakan (2) ‘Dendang-dendangan’, pengambaran dendang menyenangkan yang dibawakan Cindua Mato ketika menyamar menari di hadapan Imbang Jayo yang sedang mempersiapkan pesta pernikahannya dengan Puti Bungsu. Dendang itupun dimaksud agar Imbang Jayo tak curiga bahwa orang yang sedang menghiburnya adalah Cindua Mato.
Babakan selanjutnya, (3) ‘Adau-adau,’ menceritakan tentang usaha Cindua Mato untuk membuat Imbang Jayo tertidur memalui dendangnya. Pada tahapan ini Puti Bungsu digambarkan tersadar, ikut menari, dan membuat makin Imbang Jayo makin terhibur. Saat Imbang Jayo tertidur, ia digambarkan takicuah, tak sadar bahwa Cindua Mato hendak membawa Puti Bungsu.
Setelah Imbang Jayo takicuah, maka dimulailah babakan (4) Din-din. Ini merupakan usaha yang dilakukan Cindua Mato untuk mendinginkan atau menyejukkan hati Imbang Jayo dan masyarakat Sungai Ngiang yang sedang mempersipakan pesta; baik yang sedang memasak di dapur; sedang menghias; sedang mengadu ayam di galanggang; supaya mereka tidak curiga sama sekali dengan tindakan yang akan dilakukan Cindua Mato. Di sini digambarkan Cindua Mato mempunyai ilmu batin yang kuat, mampu mengelabui orang banyak, sehingga secara tak sadar ia telah lari membawa Puti Bungsu bersama Si Binuang.
Terakhir babakan (5) ‘Jundai,’ berkisah tentang serangan yang dilakukan Cindua Mato terhadap Imbang Jayo dari jarak jauh. Imbang Jayo kalah, tersadar telah dikelabui terbangun dari tidurnya dalam keadaan gila (jundai).
Alangkah ‘mistis’ paduan dan gerakan tersebut ketika beberapa bulan yang lalu saya menyaksikan pertunjukan tari Tan Bentan, dalam rangka pertunjukan tradisi kabupaten di Sumatra Barat, di Taman Budaya Sumbar. Dalam cucuran peluh, dua oorang pria tua memerankan Cindua Mato dan Imbang Jayo saling bertarung (silat) tanpa bersentuhan. Sementara di tengah pertarungan itu, seorang biduan (Puti Bungsu) menari dengan eloknya, seolah-olah ingin melerai pertengkaran ‘mistis’ anatra keduanya.
Tari Tan Bentan dan Cerita Rakyat Nusantara
Adapun dua versi cerita tentang tari Tan Bentan, menyamai beberapa cerita rakyat lain yang berkembang di Nusantara. Misalkan cerita tentang asal muasal orang Batak dengan kisah turunnya Si Boru Deak Parujar dari langit ke Bumi. Ia merupakan putri Batara Guru yang menolak kawin dengan Manggalabulan yang buruk rupa. Peristiwa ini, menurut adat Batak digambarkan pembangkangan pertama di langit.
Deak (putri) yang diberi sekepal tanah oleh Mulajadi Nabolon (pencipta) tehadang Raja Padoha, naga pemikul jagad raya. Setelah naga itu dikalahkan ia menjadi kesepian dan minta dikirimkan jodoh pada sang pencipta. Ia pun merima Manggalabulan, dewa buruk rupa yang akhirnya menjadi suaminya dan beranak pinak di bumi.
Atau kisah dalam Mahabarata tentang Rama yang mengutus Hanoman untuk mengalahkan Rahwana. Sebab rahwanan telah mengambil Sinta, tunangan Rama. Ada juga kisah-kisah lain yang menggambarkan kisah turunnya ‘para dewa-dewi’ ke bumi, perang, kalah dan menang, jahat dan buruk.
Hal tersebut sama termakhtub dalam babakan tari Tan Bentan yang kental unsur perang ‘magis’ melawan kejahatan, dan yang jahat pasti kalah: “Raso ka patah lantai (Rasa mau patah lantai),” kata almarhum Angku Manti—mengutip Abel Tasman—tentang spirit tari Tan Bentan yang ia rasakan seketika menari dalam pertunjukan maestro seni tradisi yang diadakan DKSB di tahun 2005 lalu.
Laporan: Esha Tegar Putra
http://www.harianhaluan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar