Negarawan bisa diartikan sebagai politisi unggul, senior yang dihormati secara luas karena integritas dan perhatian tulus dan besarnya terhadap kepentingan publik. Selain itu, negarawan, adalah keahlian dalam memimpin atau mengurus berbagai urusan negara dengan baik. Barangkali, jika dilihat dari segi ‘wilayah kekuasaan’, politisi tingkat nasional sejenis anggota DPR, menteri, pejabat lembaga tinggi negara, apalagi (Wakil) Presiden berpotensi (tidak dengan sendirinya) menyandang label negarawan tersebut.
Akan tetapi, hanya jika para petinggi negara tersebut memiliki statecrafts atau seni mengurus negara, mereka layak disebut sebagai negarawan. Jika tidak, mereka hanya sekedar politisi saja, bahkan boleh dibilang job seeker (pencari kerja). Selain itu, negarawan juga tidak harus berasal dari lingkaran kekuasaan; Mahatma Gandhi adalah seorang negarwan meski tidak pernah menjadi pejabat negara. Tulisan ini terkait dengan ide segelintir anggota DPR yang berniat membubarkan KPK.
Salah satu kualitas seorang negarawan terlihat dari strategi atau cara berkomunikasinya. Mereka tidak mengumbar pernyataan (apalagi hanya sekedar opini, bukan fakta), tidak ahli berpolemik, tetapi ahli memecah masalah. Dengan demikian, pernyataan mereka tidak meresahkan masyarakat yang masalah dan keresahannya sudah menumpuk.
Politik di negeri ini memang memperlihatkan banalitas. Para elit politiknya sering sekali bersikap dan juga berbicara semaunya. Bagi sebagian masyarakat, mereka sangat meresahkan, bukan menentramkan. Jauh dari harapan seorang warga kepada seorang pejabat negara yang digaji dari uang rakyat. Bagian terburuk dari situasi demikian adalah kita sebagai rakyat biasa tidak begitu bisa berbuat apa-apa sebab kelompok elit demikian eksis, terinstitusionalisasi dalam ketatanegaraan kita. Ya, saya sedang membicarakan sekelompok elit partai yang saat ini duduk menjadi anggota DPR dengan jujur, mujur, atau bayar, tetapi tidak atau kurang menjaga ucapannya.
Setiap hari, kita sering mendengar, membaca, atau melihat perang kata antara anggota dewan dengan pemerintah, dengan lembaga tinggi negara lain, atau sesama anggota dewan dari dalam atau luar partai yang sama. Tidak heran, jamak terjadi anggota DPR mengkritik kebijakan pemerintah sementara para pengkritik tersebut berasal dari partai yang bergabung dalam koalisi atau berasal dari partai pemerintah itu sendiri. Koalisi, dengan demikian, tidak berarti apa-apa bagi mereka melainkan sebagai sebuah strategi politis yang sah untuk membagi-bagi kursi kekuasaan. Kondisi demikian tidak sehat dan tidak akan pernah sehat bagi perkembangan demokrasi atau kemajuan bangsa.
Secara spesifik saya ingin menyinggung tentang kebiasaan para elit partai, para figur yang dengan sendirinya (dituntut) berpredikat negarawan yang suka melemparkan polemik, bukan solusi. Polemik tersebut seterusnya menjadi berita media dan akhirnya dikonsumsi oleh publik.
Ironisnya, para ‘negarawan’ tersebut cenderung mengeluarkan ucapan kontroversial yang bertentangan dengan arus harapan, cita-cita, nilai-nilai, dan tujuan yang dikejar sebagian besar rakyat negeri ini, untuk tidak mengatakan semuanya. Ide yang mereka ungkapkan cenderung mencederai aspirasi rakyat. Jika demikian, masih pantaskah mereka disebut sebagai negarawan atau wakil rakyat? Rakyat yang mana yang mereka wakili?
Tentang pembubaran KPK, misalnya, bukanlah isu yang baru. Beberapa waktu lalu, kita masih ingat ada seteru antara polisi dan KPK yang dikenal dengan perang cicak versus buaya. Sejumlah anggota DPR pun pernah mengutarakan pendapat yang menyudutkan KPK dan mendesak agar lembaga penegak hukum superior tersebut dibubarkan. Di pihak lain, rakyat masih mengharapkan eksistensi KPK untuk membongkar kasus-kasus suap dan korupsi yang menggurita di mana-mana dan ke mana-mana. Optimisme rakyat terhadap pemerintah/NKRI bertambah setiap kali ada koruptor yang ditangkap dan diadili.
Marzuki Alie, sang ketua DPR, pernah mengatakan keinginannya agar KPK dibubarkan padahal KPK adalah lembaga yang pendiriannya juga didukung oleh partai tempat dia bernaung. Wacana terbaru tentang pembubaran KPK berasal dari dua kader PKS; sebuah partai yang sering menggangu ketentraman berkoalisi tetapi tidak bernyali menjadi oposisi. Kedua kader itu adalah Fahri Hamzah dan Mahfudz Siddiq. Keduanya bukan anggota dewan biasa. Fahri Hamzah adalah Wakil Ketua Komisi III, sementara Mahfudz Siddiq adalah Ketua Komisi I DPR. Posisi strategis demikian semakin layak menjadi alasan kenapa keduanya disebut sebagai negarawan, paling tidak dituntut harus berpikir dan berbicara seperti seorang negarawan.
Adalah menarik melihat pernyataan Mahfudz yang menyudutkan KPK dalam sebuah kalimat metaforik (saya menduga jika kader PKS terbiasa berbahasa kiasan atau unsur sastra lain mengingat Tifatul Sembiring, mantan Presiden PKS, juga senang berpantun ria). Mahfudz mengibaratkan KPK seperti infus untuk membantu orang yang sakit (Kejaksaan Agung dan Kepolismengian). “Karena KPK itu seperti infus, kalau infusnya kelamaan maka semakin lama sakitnya” (Haluan, Jumat, 7 September 2011).
Persoalannya adalah: pertama, apakah Polri dan Kejaksaan saat ini sudah sembuh dari sakitnya sehingga KPK tidak diperlukan lagi? Kedua, apakah dalam UU tentang KPK juga disebutkan jika KPK hanya akan berfungsi sebagai ‘infus’ untuk periode waktu tertentu atau selamanya? Jika klausul demikian tidak diatur dalam UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka Mahfudz Siddiq memberikan pernyataan yang salah, sia-sia, dan meresahkan.
Sebagai perbandingan, sejumlah negara yang indeks tindakan korupsinya tergolong rendah bahkan tetap memiliki lembaga superbody seperti KPK. Singapura, misalnya, membentuk Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) sejak tahun 1952 hingga sekarang. Hal tersebut menunjukkan jika tindakan korupsi tidak hanya ditindak, tetapi dicegah. Mencegah lebih mudah dan lebih murah daripada mengobati.
Sayangnya, Mahfudz Siddiq, sama dengan Fahri Hamzah dan Marzuki Alie, tidak menjelaskan langkah selanjutnya jika seandainya KPK dibubarkan; apa langkah konkret lain untuk memberangus praktek korupsi di negeri ini. Mereka hanya sekadar melempar isu. Oleh sebab itu, semua ucapan mereka terkesan hanya menambah masalah, bukan jalan keluar dari masalah. Dalam konteks demikian, wajar jika sebagian anggota masyarakat melihat mereka sebagai troublemaker (pembuat masalah), bukantroubleshooter (pemecah masalah). Kita bisa bayangkan jika sekelompok ‘negarawan’ berperilaku sebagai troublemaker.
ZULPRIANTO
(Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar