MUNGKIN tidak banyak sejarawan Sumatra Barat yang mengetahui biografi dr. Anas, terutama yang terkait dengan peran politiknya selama masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat. Di masa PDRI, dr. Anas, yang tinggal di Payakumbuh (rumahnya dekat Gereja), dianggap sebagai ‘orang NICA’.
Audrey Kahin (2005 [versi terjemahan]:186) menyebut-nyebut nama dr. Anas sebagai salah seorang yang diculik oleh kelompok-kelompok nasionalis di Sumatra Barat yang anti Perjanjian Renville dan yang ingin mengkudeta pemerintahan Residen Rasyid. ‘Peristiwa 3 Maret [1947]’ itu – demikian sering disebut – digerakkan oleh beberapa tokoh dari partai Islam dan Adat yang antara lain dipimpin oleh Saalah St. Mangkuto. Orang seperti dr. Anas yang disebut sebagai ‘pegawai tiga zaman’ menjadi sasaran kebencian rakyat pasca Perjanjian Renville. Banyak di antara mereka yang dikait-kaitkan pula dengan ‘Singkarak Charter’, yaitu rencana pendirian Negara Boneka Minangkabau oleh Belanda.
Ada pula yang mengait-ngaitkan dr. Anas dengan Peristiwa Situjuah yang menewaskan 69 orang republiken. (lihat al.: Sjamsir Djohary, ‘Peristiwa Situdjuh (15 Djanuari 1949)’ [Skripsi IKIP Padang, 1971]). Ia dikait-kaitkan dengan Letnan Kamaluddin alias Tambiluak yang dituduh sebagai pengkhianat bangsa, yang membocorkan pertemuan pemimpin-pemimpin PDRI Wilayah Sumatera Tengah kepada pihak Belanda. Saksi-saksi mata mengatakan bahwa Tambiluak alias Kamaluddin, salah seorang mantan pemain sepakbola andalan dari ‘Elftal’ Club Horizon, adalah seorang tukang cukur pada ‘Sutan Karajaan Barbier’ di Payakumbuh yang salah seorang pelanggan setianya adalah dr. Anas. Namun, menurut Audrey Kahin, op cit.:219) tak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa Tambiluak terlibat dalam pembocoran rapat rahasia para petinggi PDRI di Situjuah kepada Belanda.
Belum dapat diketahui secara pasti kapan dr. Anas lahir, tapi sangat mungkin tahun 1908 atau sesudahnya. Data yang kami ketahui mengenai biografinya juga masih fragmentaris. Fajar Rillah Vesky yang mewawancarai keluarga dr. Anas di Payakumbuh mengatakan bahwa dr. Anas dan istrinya berasal dari Kotogadang. Ibunya bernama Jamilah dan ayahnya berdarah Jawa, namanya Atmo Wisastro yang konon masih termasuk trah Sultan Hamengku Buwono 1. Di rumahnya di Payakumbuh pernah menginap Bung Hatta, Rosihan Anwar, dan Abdul Muis. Pengarang roman Salah Asuhan itu adalah ipar kontan dr. Anas karena mengawini kakaknya, Nuriah, yang mati muda. Salah seorang sahabat dr. Anas adalah Prof. Dr. Amir Hakim Usman, linguis Unand dan UNP yang meninggal tahun 2006.
Audrey Kahin dalam ‘Strugle for Indpendence: West Sumatra in the Indonesiaan national revolution 1945- 1950 (PhD thesis Cornell University, 1970:296) mencatat bahwa dr. Anas pernah mendapatkan training masalah kesehatan di Belanda. Yang jelas, dr. Anas dan istrinya, Djoeasa Anas, telah hijrah ke Belanda menyusul gagalnya aksi polisionil Belanda yang hendak merebut kembali Indonesia tahun 1947. Tampaknya dia punya seorang anak angkat yang bernama Nadia Anas. Tahun 1966 Nadia menikah di Den Haag dengan R. Budi Hartono yang keturunan Indonesia. Tampaknya dr. Anas dan istrinya sudah meningal di Belanda. Tapi saya belum menemukan tarikh meninggal mereka.
Foto-foto keluarga dr. Anas, termasuk foto ini, telah diserahkan ke KITLV Leiden. Foto ini (10 x 14 cm.) diambil waktu resepsi pernikahan Nadia Anas dengan R. Budi Hartono di Den Haag pada bulan Maret 1966. (Akad nikah diadakan pada hari Senin, 4 April jam 9:00 pagi di Balaikota Den Haag, Burg. De Monchyplein).
Sebelum sampai di KITLV Leiden, foto ini dikoleksi oleh Antiquariat Minerva, Den Haag. Perempuan yang berkebaya dan berselendang yang duduk itu adalah Ibu Djoesa Anas, dan pria berkacamata dan memakai jas yang duduk di sebelahnya adalah dr. Anas, suaminya.
Fajar mengatakan bahwa konon dr. Anas meninggalkan testamen di Belanda, yang diminta jemput kemenakannya, Dr. Johar. Sayang sekali Dr. Johar telah meninggal pula sebelum sempat menjemput testamen itu ke Belanda. Jika testamen itu dapat ditemukan, mungkin akan dapat diketahui kenapa dr. Anas memilih pro Belanda.
Kisah hidup orang-orang Minang yang pro Belanda seperti dr. Anas masih belum banyak terungkap dalam sejarah Minangkabau.
(Sumber foto: KITLV Leiden). Suryadi –
Leiden, Belanda
Audrey Kahin (2005 [versi terjemahan]:186) menyebut-nyebut nama dr. Anas sebagai salah seorang yang diculik oleh kelompok-kelompok nasionalis di Sumatra Barat yang anti Perjanjian Renville dan yang ingin mengkudeta pemerintahan Residen Rasyid. ‘Peristiwa 3 Maret [1947]’ itu – demikian sering disebut – digerakkan oleh beberapa tokoh dari partai Islam dan Adat yang antara lain dipimpin oleh Saalah St. Mangkuto. Orang seperti dr. Anas yang disebut sebagai ‘pegawai tiga zaman’ menjadi sasaran kebencian rakyat pasca Perjanjian Renville. Banyak di antara mereka yang dikait-kaitkan pula dengan ‘Singkarak Charter’, yaitu rencana pendirian Negara Boneka Minangkabau oleh Belanda.
Ada pula yang mengait-ngaitkan dr. Anas dengan Peristiwa Situjuah yang menewaskan 69 orang republiken. (lihat al.: Sjamsir Djohary, ‘Peristiwa Situdjuh (15 Djanuari 1949)’ [Skripsi IKIP Padang, 1971]). Ia dikait-kaitkan dengan Letnan Kamaluddin alias Tambiluak yang dituduh sebagai pengkhianat bangsa, yang membocorkan pertemuan pemimpin-pemimpin PDRI Wilayah Sumatera Tengah kepada pihak Belanda. Saksi-saksi mata mengatakan bahwa Tambiluak alias Kamaluddin, salah seorang mantan pemain sepakbola andalan dari ‘Elftal’ Club Horizon, adalah seorang tukang cukur pada ‘Sutan Karajaan Barbier’ di Payakumbuh yang salah seorang pelanggan setianya adalah dr. Anas. Namun, menurut Audrey Kahin, op cit.:219) tak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa Tambiluak terlibat dalam pembocoran rapat rahasia para petinggi PDRI di Situjuah kepada Belanda.
Belum dapat diketahui secara pasti kapan dr. Anas lahir, tapi sangat mungkin tahun 1908 atau sesudahnya. Data yang kami ketahui mengenai biografinya juga masih fragmentaris. Fajar Rillah Vesky yang mewawancarai keluarga dr. Anas di Payakumbuh mengatakan bahwa dr. Anas dan istrinya berasal dari Kotogadang. Ibunya bernama Jamilah dan ayahnya berdarah Jawa, namanya Atmo Wisastro yang konon masih termasuk trah Sultan Hamengku Buwono 1. Di rumahnya di Payakumbuh pernah menginap Bung Hatta, Rosihan Anwar, dan Abdul Muis. Pengarang roman Salah Asuhan itu adalah ipar kontan dr. Anas karena mengawini kakaknya, Nuriah, yang mati muda. Salah seorang sahabat dr. Anas adalah Prof. Dr. Amir Hakim Usman, linguis Unand dan UNP yang meninggal tahun 2006.
Audrey Kahin dalam ‘Strugle for Indpendence: West Sumatra in the Indonesiaan national revolution 1945- 1950 (PhD thesis Cornell University, 1970:296) mencatat bahwa dr. Anas pernah mendapatkan training masalah kesehatan di Belanda. Yang jelas, dr. Anas dan istrinya, Djoeasa Anas, telah hijrah ke Belanda menyusul gagalnya aksi polisionil Belanda yang hendak merebut kembali Indonesia tahun 1947. Tampaknya dia punya seorang anak angkat yang bernama Nadia Anas. Tahun 1966 Nadia menikah di Den Haag dengan R. Budi Hartono yang keturunan Indonesia. Tampaknya dr. Anas dan istrinya sudah meningal di Belanda. Tapi saya belum menemukan tarikh meninggal mereka.
Foto-foto keluarga dr. Anas, termasuk foto ini, telah diserahkan ke KITLV Leiden. Foto ini (10 x 14 cm.) diambil waktu resepsi pernikahan Nadia Anas dengan R. Budi Hartono di Den Haag pada bulan Maret 1966. (Akad nikah diadakan pada hari Senin, 4 April jam 9:00 pagi di Balaikota Den Haag, Burg. De Monchyplein).
Sebelum sampai di KITLV Leiden, foto ini dikoleksi oleh Antiquariat Minerva, Den Haag. Perempuan yang berkebaya dan berselendang yang duduk itu adalah Ibu Djoesa Anas, dan pria berkacamata dan memakai jas yang duduk di sebelahnya adalah dr. Anas, suaminya.
Fajar mengatakan bahwa konon dr. Anas meninggalkan testamen di Belanda, yang diminta jemput kemenakannya, Dr. Johar. Sayang sekali Dr. Johar telah meninggal pula sebelum sempat menjemput testamen itu ke Belanda. Jika testamen itu dapat ditemukan, mungkin akan dapat diketahui kenapa dr. Anas memilih pro Belanda.
Kisah hidup orang-orang Minang yang pro Belanda seperti dr. Anas masih belum banyak terungkap dalam sejarah Minangkabau.
(Sumber foto: KITLV Leiden). Suryadi –
Leiden, Belanda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar