Padang, Singgalang
Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asirindo) Sumbar dianggap memonopoli pasar lagu Minang. Akibatnya, bukannya mewadahi semua seniman yang mau berkembang, namun justru menghambat. Semua tudingan itu dibantah asosiasi tersebut.
Seorang seniman/penyanyi Minang, Edi Cotok mengatakan hal tersebut, kepada Singgalang, Senin (17/10). Kata Edi, lebih dari 25 penyanyi Minang terkendala dalam memasarkan albumnya, karena tidak diizinkan bergabung dengan Asirindo. Sementara, untuk masuk ke pasar, seniman harus berada di bawah naungan organisasi ini. Kondisi tersebut, sudah berlangsung sejak 3 bulan terakhir dan sangat merugikan seniman yang mau berkembang dan masuk industri itu. “Penyanyi/produser yang hendak memasarkan albumnya harus lewat Asirindo dulu. Tarif masuk Asirindo atau untuk menjadi anggota Asirindo Rp500 ribu. Belakangan, Asirindo tidak menerima anggota lagi. Entah mengapa?” kata Edi. Jika tak tergabung dengan Asrindo, seniman bisa mengedarkan kaset ke pasaran, dengan catatan membayar ke Asirindo Rp400 ribu. Jika tiap bulan ada sekitar 20 hingga 30 album baru pop Minang, jelas uang masuk ke kas Asirindo bisa mencapai puluhan juta sebulan. “Ironisnya, tidak ada umpan balik untuk seniman,” kata Edi. Selain itu, para produser juga boleh memakai jasa seorang anggota Asirindo, Eli Tambang, tanpa harus jadi anggota asosiasi ini. Tiap album VCD biasanya dibeli Eli Tambang dengan cara konsinyasi atau lunas bagi lagu yang laku keras di pasaran. Harga beli tiap kaset VCD adalah Rp5 ribu hingga Rp6500/VCD. Di pasaran, Eli melepas VCD tersebut dengan harga Rp10 hingga Rp12.500/VCD. “Bila penyanyi/produser keras kepala. Tidak membayar atau tidak termasuk anggota Asirindo, maka album kaset atau vcd itu tadi dicekal di pasaran,” kata Edi. Pencekalan itu dilakukan dengan cara mengabarkan kepada seluruh anak galeh di Sumatra Barat, terutama yang sering berhubungan dengan Eli Tambang, supaya tidak ikut menjual atau menolak kaset tersebut. Bila anak galeh ketahuan menjual kaset tersebut, maka anak galeh tersebut tak akan pernah diberi kaset-kaset lainnya. “Dengan demikian, produser/penyanyi lain harus gigit jari dan tak bisa berkembang,” katanya. Di samping itu, Edi mengatakan, ironisnya beberapa lagu keluaran Asirindo tidak memiliki PPN. Sementara, semua album yang berada di pasaran diwajibkan memiliki PPN.
Terbuka
Ketua Asirindo, Musfar (Uncu) saat dikonfirmasi Singgalang menyangkal tudingan Edi Cotok tersebut. Katanya, Asirindo, organisasi yang terbuka bagi seniman/produser. Iuran anggota digunakan untuk kepentingan organisasi dan perlindungan hak seniman. Misalnya, banyaknya pembajakan lagu oleh pihak tak bertanggungjawab selalu ditangani oleh Asirindo dengan cepat. “Kita selalu mengadakan razia pembajakan di pasaran. Uang operasional itu diambil dari sumbangan anggota,” kata Musfar. Diakuinya, Asirindo memang hanya mengedarkan album yang diproduksi oleh Asirindo sendiri, yang bekerjasama dengan agen di pasar. Namun, bukan berarti itu menghalangi peredaran album dari musisi non-Asirindo. “Kalau mau mengedarkan sendiri, silahkan. Kami tidak mau dikatakan memonopoli pasar. Tapi, perlu diingat kami tidak bisa melindungi haknya jika terjadi pembajakan,” tegas Musfiar. (405) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar