Khairul Jasmi
Jika hari ini, dicari sebab kenapa Indonesia “rusak” , maka kesalahan setidak-tidaknya bisa dibagi tiga. Kesalahan pertama di tangan Kepala Negara, kedua di tangan pengamat dan ketiga disebabkan oleh politikus. Dua disebut terakhir kerjanya berkicau saja dan yang pertama bergerak ragu-ragu. Semua kesalahan tadi diakomodir oleh pers ibukota, terutama televisi.
Pengamat mengeluarkan pendapat atau uneg-uneg sama saja. Ada dua cara pengamat bicara. Pertama, ilmunya dipadu dengan perasaan dan kedua perasaan diaduk dengan ilmu. Ini ketahuan dari mimik dan intonasinya. Lewat gaya bahasa kalau dalam tulisan. Kecenderungannya, membenarkan dirinya dan menyalahkan “lawan” dalam hal ini pemerintah.
Pengamat itu, diadu dengan pengamat lain, tak sama pula pendapatnya. Masing-masing berusaha mempertahankan pendapat masing-masing. Perdebatan kian tak menentu, karena waktu siaran sempit. Maka berkembanglah analisa-analisa yang tak selesai. Ini makin menyburkan sakwasangka. Bermunculanlah berbagai pendapat susulan. “Pendapatan orang sebanyak rambut di kepala,” kata pepatah. Atau, “rambut sama hitam, pendapatan berlain-lain.”
Jika begitu, kenapa keluar urat leher pengamat mempertahankan pendapatnya? Karena ia tak lagi obyektif.
Habis di televisi yang satu, ia muncul di televisi yang lain. Semua persoalan selesai olehnya sendirian. Suaranya lantang, tangannya bergerak-gerak. Analisanya tajam, tapi itu tadi, dicampurnya dengan uneg-unegnya, dengan subyektivitasnya. Maka di sanalah pendapatnya menjadi hambar.
Politikus sama saja. Fakta telah menunjukkan, hampir semua politikus sabik alai, banyak untuk dia, sedikit untuk orang. Berdagang proyek kerjanya. Mencari rente dan berpikir untuk golongannya. Dari ujung sampai ke ujung, hanyut dalam keasyikan membangun kepetintingan sesaat. Ada satu dua yang bersuara jernih. Terimasih untuk si jernih, meski suaranya tenggelam dalam debu politik.
Akan halnya Kepala Negara, ragu-ragu dalam bertindak. Tidak ragu katanya, iya kata rakyat. Tidak, tapi hati-hati, kata pembela-pembelanya. Iya kata rakyat lagi. Tidak! Iya! Tidak! Sumbaranglah. Berputar-putar di sana saja.
Masih teringat oleh saya, sejumlah pensiunan jenderal menyampaikan pendapatan menjelang Susilo Bambang Yudhoyono menjadi calon presiden untuk periode pertama. Purnawirawan itu mengatakan, “dia orangnya ragu-ragu”. Terbukti sudah.
Tentang pers ibukota, terutama televisi tampil ke depan sebagai pembentuk opini nomor wahid di Indonesia. Pengaruhnya luar biasa. Di balik layar berdiri para wartawan. Mereka membahas berbagai isu dalam rapat-rapat redaksi. Hasil rapat itulah yang menyebabkan, diundangnya berbagai pengamat hadir untuk siaran live.
Pemirsa merasakan, malah sangat kentara, ada muatan dan pesan-pesan dalam beberapa tayangan. Berkali-kali, berulang-ulang. Bosan. Tapi apa hendak dikata, kita hanya pemirsa.
Maka beginilah Indonesia hari ini. Ke hilir tidak, ke mudik juga tidak. Menteri sudah banyak, ditambah lagi dengan wakil. Kerja tak beres, dibilang beres. Lembaga-lembaga di luar struktur berjibun jumlahnya, makan gaji semua. Tapi persoalan justru semakin banyak.
Semakin liar, semakin menjauh dari orbit. Kian merisaukan hati. Yang paling risau petani. Garam, kentang, buah, daging, kacang-kacangan dan lain-lain diimpor. Korek api dan peniti juga diimpor.
Sementara di Jakarta uang dimasukkan ke dalam kardus durian, disimpan dalam pot bunga. Yang lain punya rekening. Sudah gendut pula rekeningnya, tak diperiksa juga. Rakyat diumbuak dengan PNPM, dengan KUR. Hak rakyat bukan itu, tapi pendidikan murah, palayanan kesehatan tersedia dan murah, lapangan kerja cukup. Rakyat ingin sejehtera. Bangsa ini harus bahagia, bukan sengsara.
Jakarta penuh dengan vacuum cleaner, masin isok. Dihisapnya semua, termasuk jabatan-jabatan direksi dan komisaris di BUMN. Apalagi uang.
Inilah negeri kita, Indonesia. Rakyatnya banyak yang menyesali apa yang terjadi, termasuk saya. Seharusnya bekerja dengan riang dan gembira. Seharusnya....*
—————————-
Jika hari ini, dicari sebab kenapa Indonesia “rusak” , maka kesalahan setidak-tidaknya bisa dibagi tiga. Kesalahan pertama di tangan Kepala Negara, kedua di tangan pengamat dan ketiga disebabkan oleh politikus. Dua disebut terakhir kerjanya berkicau saja dan yang pertama bergerak ragu-ragu. Semua kesalahan tadi diakomodir oleh pers ibukota, terutama televisi.
Pengamat mengeluarkan pendapat atau uneg-uneg sama saja. Ada dua cara pengamat bicara. Pertama, ilmunya dipadu dengan perasaan dan kedua perasaan diaduk dengan ilmu. Ini ketahuan dari mimik dan intonasinya. Lewat gaya bahasa kalau dalam tulisan. Kecenderungannya, membenarkan dirinya dan menyalahkan “lawan” dalam hal ini pemerintah.
Pengamat itu, diadu dengan pengamat lain, tak sama pula pendapatnya. Masing-masing berusaha mempertahankan pendapat masing-masing. Perdebatan kian tak menentu, karena waktu siaran sempit. Maka berkembanglah analisa-analisa yang tak selesai. Ini makin menyburkan sakwasangka. Bermunculanlah berbagai pendapat susulan. “Pendapatan orang sebanyak rambut di kepala,” kata pepatah. Atau, “rambut sama hitam, pendapatan berlain-lain.”
Jika begitu, kenapa keluar urat leher pengamat mempertahankan pendapatnya? Karena ia tak lagi obyektif.
Habis di televisi yang satu, ia muncul di televisi yang lain. Semua persoalan selesai olehnya sendirian. Suaranya lantang, tangannya bergerak-gerak. Analisanya tajam, tapi itu tadi, dicampurnya dengan uneg-unegnya, dengan subyektivitasnya. Maka di sanalah pendapatnya menjadi hambar.
Politikus sama saja. Fakta telah menunjukkan, hampir semua politikus sabik alai, banyak untuk dia, sedikit untuk orang. Berdagang proyek kerjanya. Mencari rente dan berpikir untuk golongannya. Dari ujung sampai ke ujung, hanyut dalam keasyikan membangun kepetintingan sesaat. Ada satu dua yang bersuara jernih. Terimasih untuk si jernih, meski suaranya tenggelam dalam debu politik.
Akan halnya Kepala Negara, ragu-ragu dalam bertindak. Tidak ragu katanya, iya kata rakyat. Tidak, tapi hati-hati, kata pembela-pembelanya. Iya kata rakyat lagi. Tidak! Iya! Tidak! Sumbaranglah. Berputar-putar di sana saja.
Masih teringat oleh saya, sejumlah pensiunan jenderal menyampaikan pendapatan menjelang Susilo Bambang Yudhoyono menjadi calon presiden untuk periode pertama. Purnawirawan itu mengatakan, “dia orangnya ragu-ragu”. Terbukti sudah.
Tentang pers ibukota, terutama televisi tampil ke depan sebagai pembentuk opini nomor wahid di Indonesia. Pengaruhnya luar biasa. Di balik layar berdiri para wartawan. Mereka membahas berbagai isu dalam rapat-rapat redaksi. Hasil rapat itulah yang menyebabkan, diundangnya berbagai pengamat hadir untuk siaran live.
Pemirsa merasakan, malah sangat kentara, ada muatan dan pesan-pesan dalam beberapa tayangan. Berkali-kali, berulang-ulang. Bosan. Tapi apa hendak dikata, kita hanya pemirsa.
Maka beginilah Indonesia hari ini. Ke hilir tidak, ke mudik juga tidak. Menteri sudah banyak, ditambah lagi dengan wakil. Kerja tak beres, dibilang beres. Lembaga-lembaga di luar struktur berjibun jumlahnya, makan gaji semua. Tapi persoalan justru semakin banyak.
Semakin liar, semakin menjauh dari orbit. Kian merisaukan hati. Yang paling risau petani. Garam, kentang, buah, daging, kacang-kacangan dan lain-lain diimpor. Korek api dan peniti juga diimpor.
Sementara di Jakarta uang dimasukkan ke dalam kardus durian, disimpan dalam pot bunga. Yang lain punya rekening. Sudah gendut pula rekeningnya, tak diperiksa juga. Rakyat diumbuak dengan PNPM, dengan KUR. Hak rakyat bukan itu, tapi pendidikan murah, palayanan kesehatan tersedia dan murah, lapangan kerja cukup. Rakyat ingin sejehtera. Bangsa ini harus bahagia, bukan sengsara.
Jakarta penuh dengan vacuum cleaner, masin isok. Dihisapnya semua, termasuk jabatan-jabatan direksi dan komisaris di BUMN. Apalagi uang.
Inilah negeri kita, Indonesia. Rakyatnya banyak yang menyesali apa yang terjadi, termasuk saya. Seharusnya bekerja dengan riang dan gembira. Seharusnya....*
—————————-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar