Akmal Ahmad
Rosi Nurmaini, 30, kuyu dan mata sayu. Terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Tubuh kurusnya terbaring lemah, dengan botol infus yang menggantung tepat di atas kepalanya, di ruang perawatan Marwa 1 Rumah Sakit Siti Rahmah Padang.
Terasa perih setiap kali dia mencoba berganti posisi di tempat tidurnya. Tak sanggup lagi menahan hentakan hebat dari kanker yang meruyak di dadanya, membengkak berwarna merah kehitaman, berdiameter hampir 30 cm. Sebesar kelapa muda.
Ditemani suami dan ibu kandungnya, Rusmaini menceritakan awal mula kanker itu menggerogotinya kepada Dompet Dhuafa Singgalang.
Saat itu dia tengah diperiksa seorang bidan, bersiap menanti kelahiran anak keduanya dengan usia kandungan enam bulan. Ketika pemeriksaan, ditemukan benjolan sebesar ujung jari kelingking pada payudara kanannya. Bidan mengatakan, itu hal biasa terdapat pada ibu yang tengah mengandung dan akan hilang ketika melahirkan. Terbukti, benjolan hilang ketika anak keduanya Humairah lahir.
Namun, akhir 2010, setelah anak keduanya menginjak usia dua tahun enam bulan, benjolan itu muncul lagi pada tempat yang sama. Awalnya sebesar ujung kelingking, lama kelamaan semakin membesar, berwarna kemerahan dan mulai terasa sakit.
“Satu bulan menjelang Ramadhan kemarin sudah sebesar satu kepalan tinju orang dewasa. Saat itu suami memberikan terapi pengobatan herbal. Sakitnya hilang, tapi benjolannya tak mau berkurang,” jelas Rosi dengan suara berat, Minggu (16/10)
Bahkan menurutnya, satu minggu setelah Ramadhan, benjolan itu pun pecah dan mengeluarkan bau yang sangat busuk. Rutin minum obat herbal yang dibelikan sang suami Ridwan, 31, yang sehari-hari bekerja sebagai pengantar air isi ulang ke rumah-rumah dengan penghasilan Rp400 ribu per bulan. Obat itu, tak mujarab pula.
Makin parah
Setiap hari benjolan yang pecah tadi dibiarkan menganga. Lukanya terus menebal, hingga sebesar buah kelapa. Bernanah. Ia tidak bisa duduk lagi. Susah tidur karena dada kanannya terasa perih tak terpermanai. Akhirnya, ditemani suami dan keluarga lainnya, Rosi dibawa ke salah satu rumah sakit di Padang.
“Sudah tiga hari pulang balik, istri saya hanya periksa darah dan kencing saja, setelah itu disuruh pulang. Tak satu obat pun yang diberikan,” ujar Ridwan. Sang suami kecewa.
Sampai akhirnya, Kamis (13/10) pagi, Rosi tiba-tiba menggigil hebat, badannya mendingin, matanya nyaris hanya tampak putih saja.
Ridwan tampak tegang ketika menjelaskan bagian ini. Menurutnya, dia seakan melihat orang yang tengah sakarat. Pagi itu juga dia bawa istri ke salah satu rumah sakit yang lain di Padang.
“Tapi sangat disayangkan karena kondisi istri saya semakin parah dan peralatan rumah sakit terbatas, pihak rumah sakit bahkan meminta mereka untuk merujuk ke rumah sakit yang pertama kali mereka datangi.”
“Saya sudah kecewa dan trauma ketika itu dan tak mau antarkan istri ke sana lagi. Akhirnya kami putuskan untuk membawa ke Rumah Sakit Siti Rahmah dan alhamdulillah kami langsung ditangani cepat, istri pun diberi obat-obatan,” jelas Ridwan.
Rumah sakit menyarankan Ridwan untuk tetap menjaga sang istri. Otomatis pekerjaannya pun semakin terbengkalai. Hampir tiga minggu kerjanya tidak efektif lagi, bahkan satu minggu terakhir ia tidak kerja sama sekali.
Kebutuhan hidup terus berlanjut dan itu butuh uang. Bahkan anaknya yang sulung sudah duduk di bangku SD kelas 2, delapan tahun usianya kini. Perasaan Ridwan pun semakin galau, apalagi statusnya kini berutang dengan pihak rumah sakit. Sewa per hari ruangan tempat istrinya dirawat Rp80 ribu, belum masuk biaya obat-obatan. Kemungkinan besar istri akan menjalani operasi pengangkatan kanker. Saat kondisi itulah akhirnya Sabtu (15/10) kemarin, dia mendatangi Dompet Dhuafa Singgalang untuk meminta bantuan.
Dibantu sediakan lima kantong darah
Saat mendengarkan kondisi penyakit yang sedang diderita Rosi, Dompet Dhuafa Singgalang menangkap kegelisahan Ridwan yang kini tengah memikirkan untuk pengganti darah yang telah disediakan Rumah sakit untuk istrinya selama tiga hari lima kantong.
“Jika kami tidak mengganti tentu kami harus membayarnya. Golongan darah terserah karena hanya untuk pengganti saja,” terang Ridwan yang merupakan warga Cubadak Aia Lubuk Lintah.
Hari itu juga, Dompet Dhuafa Singgalang menghubungi seluruh relasi yang ada untuk menghadirkan pendonor darah. Alhamdulillah hingga Minggu (16/10) sore berhasil mengumpulkan enam orang pendonor darah. Lima kantong pun terpenuhi.
mencari bantuan
Kini Dompet Dhuafa Singgalang tengah berusaha untuk mencari donatur yang bersedia membantu biaya pengobatan Rosi, termasuk biaya operasi pengangkatan kanker yang sempat dijelaskan oleh salah seorang perawat, mencapai Rp25 -Rp30 juta.
Bagi para donatur yang berniat untuk membantu dapat menyerahkan langsung bantuannya ke Graha Kemandirian Dompet Dhuafa Singgalang Jl. Juanda No. 31 C Pasar Pagi, Padang, telepon 0751-40098 atau transfer donasi melalui rekening BNI Syariah 234.66666.6 a/n Dompet Dhuafa Singgalang. *
Rosi Nurmaini, 30, kuyu dan mata sayu. Terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Tubuh kurusnya terbaring lemah, dengan botol infus yang menggantung tepat di atas kepalanya, di ruang perawatan Marwa 1 Rumah Sakit Siti Rahmah Padang.
Terasa perih setiap kali dia mencoba berganti posisi di tempat tidurnya. Tak sanggup lagi menahan hentakan hebat dari kanker yang meruyak di dadanya, membengkak berwarna merah kehitaman, berdiameter hampir 30 cm. Sebesar kelapa muda.
Ditemani suami dan ibu kandungnya, Rusmaini menceritakan awal mula kanker itu menggerogotinya kepada Dompet Dhuafa Singgalang.
Saat itu dia tengah diperiksa seorang bidan, bersiap menanti kelahiran anak keduanya dengan usia kandungan enam bulan. Ketika pemeriksaan, ditemukan benjolan sebesar ujung jari kelingking pada payudara kanannya. Bidan mengatakan, itu hal biasa terdapat pada ibu yang tengah mengandung dan akan hilang ketika melahirkan. Terbukti, benjolan hilang ketika anak keduanya Humairah lahir.
Namun, akhir 2010, setelah anak keduanya menginjak usia dua tahun enam bulan, benjolan itu muncul lagi pada tempat yang sama. Awalnya sebesar ujung kelingking, lama kelamaan semakin membesar, berwarna kemerahan dan mulai terasa sakit.
“Satu bulan menjelang Ramadhan kemarin sudah sebesar satu kepalan tinju orang dewasa. Saat itu suami memberikan terapi pengobatan herbal. Sakitnya hilang, tapi benjolannya tak mau berkurang,” jelas Rosi dengan suara berat, Minggu (16/10)
Bahkan menurutnya, satu minggu setelah Ramadhan, benjolan itu pun pecah dan mengeluarkan bau yang sangat busuk. Rutin minum obat herbal yang dibelikan sang suami Ridwan, 31, yang sehari-hari bekerja sebagai pengantar air isi ulang ke rumah-rumah dengan penghasilan Rp400 ribu per bulan. Obat itu, tak mujarab pula.
Makin parah
Setiap hari benjolan yang pecah tadi dibiarkan menganga. Lukanya terus menebal, hingga sebesar buah kelapa. Bernanah. Ia tidak bisa duduk lagi. Susah tidur karena dada kanannya terasa perih tak terpermanai. Akhirnya, ditemani suami dan keluarga lainnya, Rosi dibawa ke salah satu rumah sakit di Padang.
“Sudah tiga hari pulang balik, istri saya hanya periksa darah dan kencing saja, setelah itu disuruh pulang. Tak satu obat pun yang diberikan,” ujar Ridwan. Sang suami kecewa.
Sampai akhirnya, Kamis (13/10) pagi, Rosi tiba-tiba menggigil hebat, badannya mendingin, matanya nyaris hanya tampak putih saja.
Ridwan tampak tegang ketika menjelaskan bagian ini. Menurutnya, dia seakan melihat orang yang tengah sakarat. Pagi itu juga dia bawa istri ke salah satu rumah sakit yang lain di Padang.
“Tapi sangat disayangkan karena kondisi istri saya semakin parah dan peralatan rumah sakit terbatas, pihak rumah sakit bahkan meminta mereka untuk merujuk ke rumah sakit yang pertama kali mereka datangi.”
“Saya sudah kecewa dan trauma ketika itu dan tak mau antarkan istri ke sana lagi. Akhirnya kami putuskan untuk membawa ke Rumah Sakit Siti Rahmah dan alhamdulillah kami langsung ditangani cepat, istri pun diberi obat-obatan,” jelas Ridwan.
Rumah sakit menyarankan Ridwan untuk tetap menjaga sang istri. Otomatis pekerjaannya pun semakin terbengkalai. Hampir tiga minggu kerjanya tidak efektif lagi, bahkan satu minggu terakhir ia tidak kerja sama sekali.
Kebutuhan hidup terus berlanjut dan itu butuh uang. Bahkan anaknya yang sulung sudah duduk di bangku SD kelas 2, delapan tahun usianya kini. Perasaan Ridwan pun semakin galau, apalagi statusnya kini berutang dengan pihak rumah sakit. Sewa per hari ruangan tempat istrinya dirawat Rp80 ribu, belum masuk biaya obat-obatan. Kemungkinan besar istri akan menjalani operasi pengangkatan kanker. Saat kondisi itulah akhirnya Sabtu (15/10) kemarin, dia mendatangi Dompet Dhuafa Singgalang untuk meminta bantuan.
Dibantu sediakan lima kantong darah
Saat mendengarkan kondisi penyakit yang sedang diderita Rosi, Dompet Dhuafa Singgalang menangkap kegelisahan Ridwan yang kini tengah memikirkan untuk pengganti darah yang telah disediakan Rumah sakit untuk istrinya selama tiga hari lima kantong.
“Jika kami tidak mengganti tentu kami harus membayarnya. Golongan darah terserah karena hanya untuk pengganti saja,” terang Ridwan yang merupakan warga Cubadak Aia Lubuk Lintah.
Hari itu juga, Dompet Dhuafa Singgalang menghubungi seluruh relasi yang ada untuk menghadirkan pendonor darah. Alhamdulillah hingga Minggu (16/10) sore berhasil mengumpulkan enam orang pendonor darah. Lima kantong pun terpenuhi.
mencari bantuan
Kini Dompet Dhuafa Singgalang tengah berusaha untuk mencari donatur yang bersedia membantu biaya pengobatan Rosi, termasuk biaya operasi pengangkatan kanker yang sempat dijelaskan oleh salah seorang perawat, mencapai Rp25 -Rp30 juta.
Bagi para donatur yang berniat untuk membantu dapat menyerahkan langsung bantuannya ke Graha Kemandirian Dompet Dhuafa Singgalang Jl. Juanda No. 31 C Pasar Pagi, Padang, telepon 0751-40098 atau transfer donasi melalui rekening BNI Syariah 234.66666.6 a/n Dompet Dhuafa Singgalang. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar