Bencana demi bencana tidak lepas menimpa daerah Sumatera Barat. Setelah reda dari gempa dan tsunami yang terakhir menimpa Mentawai 25 Oktober 2010, longsor menghantam beberapa wilayah di Sumatera Barat, terutama Pesisir Selatan, Pasaman Barat dan Agam.
Memang agak tepat julukan yang pernah diberikan kepada wilayah ini, yakni: supermarket bencana.Sebagai daerah yang rawan terhadap bencana, maka berbagai upaya kesiapsiagaan untuk menghadapinya harus dilakukan dan terus ditingkatkan. Upaya yang bertujuan untuk mengurangi risiko bencana disebut sebagai mitigasi.
Di dalam mitigasi ada 3 (tiga) tahap yang dilakukan, yakni pra bencana, saat bencana (disebut juga tahap tanggap darurat), dan pascabencana (tahap rehabilitasi dan rekonstruksi).
Tahap pra bencana merupakan tahap yang paling penting. Biasanya risiko atau bencana yang paling besar terjadi apabila mitigasi pra bencana tidak dilakukan secara baik.
Sumatera Barat memiliki alam yang elok serta potensi sumber daya alam yang cukup baik. Namun di samping itu, Sumatera Barat juga menyimpan potensi yang besar dalam hal bencana alam, khususnya bencana alam geologis. Jenis bencana alam geologis tersebut antara lain adalah Gempa, tsunami, erupsi gunung api, longsor, banjir, erosi dan sedimentasi serta abrasi.
Dari semua jenis bencana tersebut diakui bahwa gempa dan tsunami merupakan bencana alam yang paling menakutkan masyarakat. Gempa besar dan tsunami Aceh, ditambah dengan berita gempa dan tsunami di Jepang tanggal 11 Maret 2011 yang baru lalu, bisa semakin menakutkan masyarakat.
Berikut ini akan diuraikan tentang potensi gempa dan tsunami di Sumatera Barat, serta penyebab dan lokasi sumbernya.
Gempa Bumi
Gempa Bumi merupakan sebuah guncangan hebat yang menjalar ke permukaan Bumi yang disebabkan oleh gangguan di dalam litosfir (kulit Bumi). Gangguan ini terjadi karena di dalam kulit Bumi terjadi akumulasi energi akibat dari pergeseran kulit Bumi itu sendiri.
Sementara itu, pergerseran kulit Bumi terjadi akibat dari pergerakan secara konvektif yang bersumber dari lapisan astenosfir, yakni sebuah lapisan bagian atas dari mantel Bumi, berupa cairan panas yang sangat kental, yang mengalir secara perlahan.
Akibat gerakan-gerakan ini, maka kulit Bumi terpecah-pecah menjadi bagian-bagian berupa lempengan yang saling bergerak satu sama lain, yang kemudian disebut dengan lempeng tektonik. Umumnya gempa Bumi berasal dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai suatu keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh lempeng tektonik tersebut. Pada saat itulah gempa Bumi akan terjadi.
Gempa Bumi yang disebabkan oleh pergerakan lempeng ini, baik subduksi (tumbukan) maupun pergeseran mendatar, disebut dengan gempa tektonik. Jenis gempa lain adalah gempa volkanik, yakni disebabkan oleh kegiatan volkanik (gunung api).
Magma yang berada pada kantong di bawah gunung tersebut mendapat tekanan dan melepaskan energinya secara tiba-tiba sehingga menimbulkan getaran tanah. Namun gempa volkanik ini biasanya tidak merusak karena kekuatannya cukup kecil, sehingga hanya dirasakan oleh orang-orang yang berada dalam radius yang kecil saja dari sebuah vulkano.
Gempa volkanik dapat menjadi gejala/petunjuk akan terjadinya letusan gunung berapi. Masih ada jenis gempa lain seperti gempa runtuhan dan gempa buatan untuk keperluan eksplorasi/eksploitasi mineral dan lain-lain, tapi kekuatannya lebih kecil lagi, sehingga tidak berpotensi menimbulkan bencana kepada masyarakat.
Lokasi Potensi Gempa Bumi di Sumatera Barat
Gempa Bumi tektonik di wilayah Sumatera Barat berasal dari dua sumber, yakni akibat subduksi (tumbukan lempeng) antara Lempeng Indo-Australia dan Eurasia serta pergerakan Sesar Sumatera (nama lain: Sesar Semangko) yang sangat aktif. Subduksi kedua lempeng tektonik ini berlokasi di laut dan pergerakan Sesar/Patahan Semangko berlokasi di darat.
Gempa-gempa besar yang terjadi di daratan Sumatera Barat dan sekitarnya misalnya yang terjadi tahun 1926, 1943, 1977 dan 2004 (Padang Panjang), serta 6 Maret 2007 di dua sumber (Danau Singkarak dan Sianok/Agam).
Gempa di Sungai Penuh, Kerinci tahun 1995 juga merupakan produk dari pergeseran Sesar Semangko ini. Gempa di arah laut yang berasal dari subduksi, berlokasi di sekitar Siberut dan Sipora-Pagai. Gempa besar yang pernah terjadi di lokasi ini antara lain tahun 1797 di Siberut, 1833 di Sipora-Pagai, 2007 dan 25-10-2010 juga di Sipora-Pagai. Gempa yang bersumber di laut ini dapat memicu timbulnya tsunami.
Upaya yang Dilakukan untuk Mengurangi Risiko
Gempa jarang yang membunuh langsung. Biasanya yang membunuh adalah bangunan, yakni bangunan yang tidak memenuhi standar atau yang tidak berwawasan bencana.
Dr Yozo Goto bersama timnya dari Jepang telah melakukan penelitian di Kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman terhadap bangunan yang hancur dan rusak akibat gempa Sumbar (7,9 SR) 30 September 2009.
Yozo Goto menyimpulkan bahwa bangunan yang rusak dan hancur akibat gempa tanggal 30 September adalah bangunan yang tidak memenuhi aturan atau standar yang sudah ditetapkan, yakni SNI 2002. Kalau bangunan yang hancur atau rusak itu memenuhi SNI 2002, diyakini tidak akan terjadi kerusakan.
Dengan demikian maka salah satu upaya dalam mengurangi risiko akibat gempa adalah membuat bangunan sesuai standar yang sudah ditetapkan. Saat ini standar SNI-2002 telah direvisi menjadi SNI-2010.
Upaya lainnya adalah dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana menghadapi gempa sebelum terjadi, pada waktu gempa berlangsung (gempa kuat atau merusak dan gempa lemah), terutama melalui sekolah secara langsung maupun melalui kurikulum pelajaran. Sosialisasi ini yang disertai simulasi harus dilaksanakan secara terus menerus secara rutin.
Tsunami
Tsunami berasal dari gabungan dua kata bahasa Jepang, yakni tsu yang berarti pelabuhan dan nami yang berarti gelombang. Dari kata asalnya ini dibuatlah definisi tsunami, yakni gelombang yang menyerang pelabuhan atau daratan. Penyebab timbulnya tsunami adalah 1). Gempa Bumi yang berepisenter di dasar laut, 2). Meletusnya gunung api bawah laut, 3) Longsoran massa tanah/batuan di dasar laut, dan 4). Jatuhnya meteor.
Dari keempat penyebab tsunami ini, maka lebih dari 90 persen penyebab tsunami adalah gempa Bumi yang berepisenter di dasar laut. Sedangkan jatuhnya meteor berukuran besar ke laut secara statistik kebolehjadiannya sangat kecil.
Tidak semua gempa menimbulkan tsunami. Ada 4 (empat) syarat sebuah gempa dapat menimbulkan tsunami, yakni gempa dengan episentrum di dasar laut; kekuatan gempa minimal 6,5 SR dan biasanya berlangsung lebih dari 30 detik; gempa sangat dangkal (kedalaman pusat gempa < 30 km); dan terjadi dislokasi batuan secara vertikal
Untuk terjadinya sebuah tsunami, maka keempat syarat di atas harus terpenuhi secara bersama-sama sekaligus. Apabila satu syarat saja tidak terpenuhi, maka tsunami tidak akan terjadi. Kewaspadaan terhadap tsunami harus dibangun dengan baik. Kalau tidak, maka korban yang jatuh bisa banyak sekali. (Bersambung) (Bagian I)
DR BADRUL MUSTAFA(haluan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar