Pada Maret 2011 seorang tersangka penadah kulit harimau ditangkap di Payakumbuh. Ia ditangkap disertai barang bukti berupa satu lembar kulit harimau yang dibelinya seharga Rp25 juta/lembar. Terdakwa sudah menjalani lima tahap persidangan dan pada sidang pembacaan tuntutan pekan lalu, terdakwa hanya dituntut 3 tahun penjara dengan denda Rp3 juta
.
Retno Setiyaningrum, Senior Officer Hukum dan Kebijakan WWF-Indonesia menyatakan, bahwa upaya para penegak hukum dalam kasus ini perlu diapresiasi, namun sayangnya tuntutan jaksa masih relatif kecil dibandingkan dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah sebagaimana dimuat dalam pasal 40 ayat (2) Undang-undang No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
“Sejak tahun 2004, pemberian sanksi kepada para terdakwa kasus-kasus perburuan dinilai tidak mampu memberikan efek jera. Pada 2009, majelis hakim di Pengadilan Negeri Tembilahan Kabupaten Indragiri Hilir Riau, menghukum dua terdakwa kasus perburuan liar yang mengakibatkan terbunuhnya tiga ekor harimau sumatera dengan hukuman satu tahun penjara dan denda dua juta rupiah,” kata Retno Setiyaningrum.
Sementara itu, Davina Hariadi, model dan Supporter Kehormatan WWF-Indonesia mengatakan, jaksa maupun hakim Pengadilan Negeri Payakumbuh mestinya dapat bersikap lebih tegas.
“Hukuman tiga tahun penjara dan denda tiga juta rupiah rasanya masih jauh dari keadilan terhadap lingkungan, khususnya bagi perlindungan satwa terancam punah. Saya khawatir hukuman sekecil itu tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku perdagangan dan perburuan satwa liar di Indonesia,” kata Davina Hariadi.
Lain halnya dengan kelompok musik Nugie, musisi dan Supporter Kehormatan WWF-Indonesia menyatakan, harimau sumatera adalah salah satu identitas bangsa Indonesia.
“Jangan sampai satwa unik ini punah, menyusul kepunahan harimau jawa dan harimau bali. Vonis maksimum bagi penadah kulit harimau di Payakumbuh ini bisa menjadi contoh keseriusan pemerintah dalam menegakkan hukum. Apalagi kasus perdagangan gelap satwa liar juga menyebabkan kerugian bagi negara,” tambah Nugie.
Tingkat perburuan harimau sumatera, khususnya di Riau dan Sumatera Barat, telah sangat mengancam populasi harimau di alam. Perburuan dan perdagangan harimau melibatkan jaringan yang sangat luas dan kompleks. Sementara proses penegakkan hukumnya masih parsial.
“Pada kasus penadah kulit harimau di Payakumbuh, pemburunya tidak tertangkap sampai hari ini,” kata Osmantri, Koordinator Tiger Protection Unit WWF-Indonesia.
Osmantri juga menambahkan, seharusnya penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus-kasus perburuan dan perdagangan harimau harus menyentuh semua mata rantai dari tingkat pemburu, penadah, hingga konsumen.
Harimau sumatera merupakan salah satu spesies endemik Sumatera yang saat ini jumlahnya diperkirakan kurang dari 400 individu di alam liar. Habitatnya tersebar di seluruh Sumatera dengan titik terpadat berada di Sumatera bagian tengah, yaitu Sumatera Barat, Riau dan Jambi.
Hariyo T. Wibisono dari Forum Harimau Kita, forum bersama yang beranggotakan 100 aktivis dari 25 organisasi lingkungan, mengatakan upaya penegakkan hukum terhadap pelaku perburuan dan perdagangan harimau merupakan salah satu solusi utama dalam menekan laju penurunan populasi harimau Sumatera di alam.
“Keberhasilan proses penegakan hukum terhadap para pelaku perburuan dan perdagangan bagian-bagian tubuh harimau yang telah dilakukan pemerintah dalam beberapa tahun belakangan ini seharusnya dapat menjadi landasan bagi para penegak hukum untuk memberikan vonis maksimal terhadap para pelaku,” katanya.
Kerusakan Hutan Parah
“Perusakan hutan alam yang menjadi habitat harimau sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) terus berlangsung. Perubahan fungsi hutan menjadi areal monokultur mempersempit ruang jelajah harimau sumatera, memaksa satwa ini bergerak memasuki permukiman terdekat dengan hutan,” kata Juru Kampanye Organisasi Lingkungan Greenpeace, Rusmadia Maharudin, menyatakan hal itu kepada pers di Jambi, Kamis (6/10).
Greenpeace bersama aktivis Walhi dan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menelusuri habitat harimau sumatera dalam tur “Mata Harimau” di wilayah Riau dan Jambi.
Dalam penelusuran tersebut, tim menyaksikan pembukaan hutan alam secara masif untuk kepentingan industri tanaman. Di wilayah Rokan Hilir hingga Pelalawan, Riau, pengangkutan kayu bulat berdiameter lebih dari 50 sentimeter marak terjadi, khususya pada malam hari.
Dalam kawasan hutan tanaman industri (HTI) di Kabupaten Pelalawan, tim sebelumnya mendapati harimau sumatera terperangkap jerat, dan akhirnya mati sepekan kemudian.
Di wilayah Jambi, tim menyaksikan pembukaan hutan alam bertutupan di atas 60 persen di Kabupaten Tebo.
Dari sekitar 80 juta hektare hutan alam yang tersisa di Indonesia, 30 persen di antaranya hampir tidak mungkin lagi bisa diselamatkan. Kepentingan industri tanaman akan menghabisi hutan alam tersebut berikut dengan habitat satwa liar di dalamnya.
“Jika ini dibiarkan terus, katanya, harimau sumatera akan kehilangan sumber makanan, dan masuk ke wilayah permukiman. Konflik dengan manusia semakin tinggi dan menimbulkan korban di kedua belah pihak.”
Greenpeace mencatat dua warga tewas dan dua lainnya luka-luka di Desa Jumbroh, Kabupaten Rokan Hilir, dalam konflik dengan harimau sumatera. Harimau mulai masuk kampung setelah hutan alam di sekitar desa dibuka untuk HTI, ujarnya.
Aktivis KKI Warsi, Diki Kurniawan, menyesalkan pembukaan hutan alam didukung pemerintah daerah setempat. Pemegang konsesi tidak hanya mengambil kayu, tetapi juga membuka tambang batubara di dalam kawasan hutan. (h/naz/rel/berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar