Banjir bandang yang terjadi di Pesisir Selatan diduga kuat pemicunya adalah kerusakan hutan. Karena itu, rehabilitasi kawasan hutan penting dilakukan
PESSEL, Kerusakan hutan di Pesisir Selatan (Pessel) dinilai menjadi pemicu terjadinya banjir bandang. Dari 12 wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), 11 di antara wilayah tersebut telah dilanggar.
“Kerusakan hutan yang paling parah ada di Lengayang,” kata Kamaruzzaman, Kepala Sesi TNKS Wilayah III. Lengayang adalah lokasi terparah dihantam banjir bandang. Di Pasir Putih, Jorong Pasa Gompong, Nagari Kambang Barat, muara yang terbentuk pasca banjir lebarnya mencapai 700 meter.
Di wilayah tersebut, katanya, jumlah kerusakan hutan sebanyak 800 ha yang dipicu karena aktivitas masyarakat yang tidak memerhatikan lingkungan. Aktivitas itu, lanjutnya, telah dimulai sejak 1996-1997. “Akibatnya dirasakan sekarang. Dan ini yang terparah,” ujarnya.
Akibat kerusakan hutan yang menyebabkan banjir diperkuat dengan penuturan masyarakat. “Saya melihat air datang dari arah atas,” kata Agus, warga di Pasir Putih yang ditemui Haluan di lokasi bencana pada Minggu (6/11).
Malam itu, katanya, air dengan deras menghantam rumah-rumah penduduk dari arah belakang. Makanya, rata-rata rumah yang rusak adalah bagian belakangnya. Sementara rumah yang berada di pesisir pantai, nyaris tidak ada yang rusak.
Warga lain, Kemon juga mengakui hal yang sama. Rumah nelayan ini juga rusak pada bagian belakang. Sementara di bagian depan masih utuh. Menurut Kemon, saat banjir, ia malah menyelamatkan diri ke arah laut.
Dalam buku Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) 2010 yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup, Pessel urutan ketiga perambahan hutan setelah Dhamasraya dan Kabupaten Solok. Luas rambahan hutannya 97 ha.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumbar Khalid Syaifullah mencatat, selain faktor kerusakan hutan, tanaman sawit yang ditanami warga, nyaris tak dapat berbuat apa-apa. Tanaman sawit tersebut tidak diketahui luas pasti karena dilakukan secara perorangan oleh masyarakat.
Menurut Khalid, tanaman sawit tidak memiliki kemampuan menyimpan dan menyerap air. Malah, tanaman tersebut dapat membuat debit air menjadi besar. “Sebab, ia merupakan sistem hidrologi, terkonsentrasi pada satu titik kanalisasi,” katanya. Aliran air dari hulu, sambungnya, membentuk run off atau membuat aliran permukaan air semakin tinggi. Dan ini mengakibatkan daerah tangkapan air menjadi rusak.
Kontrol Kurang
Menurut Kamaruzzaman, sejak 2006, Pemda Pessel dan pihak pengelola TNKS telah menyapakati tapal batas luas lahan taman nasional yang masuk dalam kawasan hutan lindung.
Dalam kesepakatan tersebut, katanya, kebun palawija masyarakat telah masuk ke areal TNKS hingga kedalaman 1-2 kilometer. “Hutan penyangga yang ada saat ini pun telah beralih fungsi menjadi perkebunan, bisa dibilang kawasan hutan penyangga sudah tidak ada lagi,” katanya.
Namun, disambung Khalid Syaifullah, investigasi yang dilakukannya bersama lembaga swadaya pada 2006, menunjukkan kerusakan signifikan di kawasan hulu sungai akibat illegal logging. Illegal logging, menurutnya, menjadi kata kunci utama penyebab banjir bandang yang merugikan Kabupaten Pessel hingga Rp300 miliar lebih. “Ini sulit dibantah, karena perusahaan yang memiliki HPH dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan kayu ekspor,” katanya.
Data Walhi bersama sejumlah NGO, tak kurang dari 10 lokasi penebangan ditemukan di kawasan hulu sungai yang masuk dalam kawasan TNKS. Menurut Saeful, sekitar 25 persen hingga 35 persen kawasan hulu sungai mengalami degradasi (penurunan fungsi hutan).
Menurutnya, aktivitas illegal logging yang tinggi pertanda minimnya kontrol pemerintah.
Rehabilitasi Hutan
Kamaruzzaman juga menyebutkan, rehabilitasi kawasan hutan menjadi hal yang penting dan utama untuk dilakukan. Tahun lalu, katanya, 250 ha telah direhabilitasi lewat program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yaitu di kawasan Kenagarian Ampang Parak Timur.
Ditargetkan, katanya, semua rehabilitasi kawasan TNKS berlangsung hingga 2014. Pada 2012, direncanakan sekitar 600 ha lahan TNKS di wilayah III akan direhabilitasi.
Cara ini, kata Kamaruzzaman, setidaknya dapat menahan laju debit hujan sehingga tidak menimbulkan banjir besar. Tanaman yang ditanam antara lain palawija atau tanaman-tanaman besar yang mampu menyerap air.
Khalid menghimbau masyarakat turun berperan serta melestarikan lingkungan sekitarnya. Katanya, kesadaran itu jauh lebih penting untuk mencegah dampak serupa di tahun berbeda. (h/adk)(haluan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar