Silat puteri, ilustrasi
TERKAIT:
JAKARTA, Kompas.com - Hakekat atlet atau mantan atlet adalah tidak pernah menyerah hadapi cobaan hidup, seperti yang dilakukan mantan atlet silat, Marina.
Di saat sebagian warga ibukota Jakarta masih terlelap dalam tidur, Marina (47 tahun) sudah berada di balik kemudi, menjelajahi jalanan untuk mencari penumpang.
Rutinitas sebagai sopir taksi tersebut sudah dijalani orang tua tunggal dengan dua anak dan empat cucu itu sejak empat tahun lalu.
Sejak berpisah dengan suaminya Rainer Nurdin pada 1990, mantan atlet pencak silat yang pernah menjadi juara Asia di Singapura tersebut harus menghidupi sendiri kedua anak perempuannya yang masih kecil, yaitu Ayu dan Rima
Beruntung wanita blasteran Jerman-Jawa itu masih bisa menumpang di rumah orang tuanya di daerah Bintara, Bekasi Barat, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk mengontrak rumah.
Sebelum menjadi sopir taksi Blue Bird, Marina dengan modal yang terbatas pernah mencoba dagang kebutuhan sehari-hari di dekat rumahnya, tapi gagal karena terus merugi. "Saya akhirnya memutuskan untuk menjadi sopir taksi karena dari dulu saya memang gemar mengemudi," kata Marina di tempat tinggalnya di Bintara.
Marina, yang berayah Martin Segedi (alm) asal Jerman dan ibu Soekartien dari Malang, tampak menjalani profesinya dengan tenang dan nyaman, meski bagi sebagian masyarakat profesi supir taksi bagi sebagian wanita adalah hal yang tidak lumrah.
Berita yang sering muncul di berbagai media mengenai kejahatan yang dialami supir taksi,seperti penodongan, tidak membuat Marina ciut dalam menjalankan profesinya tersebut karena setiap profesi pasti ada resikonya.
Pada awalnya, kedua anaknya memang sempat keberatan dengan profesi ibunya sebagai sopir taksi karena kejahatan sering mengintai di jalanan ibukota dengan kehidupan yang sangat keras.
Menurut Marina, anak-anaknya sempat menitikkan air mata saat melepas kepergiannya dari rumah dengan seragam sopir Blue Bird.
Tapi lama kelamaan, rasa sedih dan khawatir tersebut berubah jadi bangga dan salut melihat keteguhan hati sang ibu demi untuk masa depan kedua anaknya.
Berkat kegigihannya itulah, Marina mampu menyekolahkan kedua anaknya sampai tingkat sarjana karena ia sudah bertekad agar pendidikan kedua buah hatinya lebih baik dari dirinya yang hanya tamatan SMA.
Keteguhan hati dan keikhlasan dalam menjalankan profesi itu pulalah yang membuat Marina muncul di majalah bulanan "Inspiring Woman Digest" edisi Februari 2011, bersama beberapa wanita terkenal lainnya, di antaranya pengusaha Dewi Motik Pramono dan Ingrid Kansil.
Perlakuan istimewa
Selama menjadi sopir taksi, Marina mengaku beruntung tidak pernah mengalami kejadian yang luar biasa, seperti penodongan oleh penumpang atau kejadian lainnya.
Kalau pun ada hal-hal yang tidak menyenangkan, itu pernah terjadi saat ia distop oleh beberapa lelaki yang dari gerak-geriknya sedang mabuk. "Di perusahaan ada aturan kalau kita tidak boleh menolak penumpang. Tapi melihat gelagat yang tidak beres karena lelaki tersebut bicara kasar dan mulutnya bau alkohol, saya langsung tancap gas sebelum mereka naik," kata Marina.
Tapi tidak jarang Marina juga menerima perlakuan istimewa, baik dari para penumpang maupun dari sesama pengemudi taksi dari perusahaan lain.
Kalau yang menumpang adalah sesama perempuan, mereka biasanya tidak mau menerima uang kembalian. "Simpan saja kembaliannya, untuk anak-anak di rumah," kata Marina menirukan ucapan penumpang yang bersimpati kepadanya.
Sesama pengemudi dari perusahaan lain pun juga sering mengistimewakan Marina, padahal persaingan antara sesama mereka sangat ketat.
Marina bercerita bahwa suatu hari, ia pernah mangkal di depan sebuah hotel di kawasan Jakarta Timur yang sebenarnya dikuasai oleh taksi dari perusahaan lain dan pengemudi Blue Bird tidak berani mangkal di sana."Tapi mungkin karena saya perempuan, supir taksi dari perusahaan yang lain tidak keberatan, padahal kalau ada taksi Blue Bird berada disana, pasti sudah diusir," katanya.
Sebagai mantan atlet yang pernah mengibarkan Merah Putih di kompetisi tingkat Asia, Marina mengatakan bahwa juga berharap ada perhatian dari pemerintah agar mereka bisa hidup layak setelah pensiun sebagai atlet.
Saat mengalami kesulitan hidup setelah berpisah dengan suaminya dan harus menghidupi kedua anaknya, Marina pernah terpikir untuk mendatangi Kantor Menpora meminta bantuan, tapi ia tidak tahu harus menemui siapa sehingga rencana tersebut tidak pernah terwujud.
Setelah beberapa tahun kemudian dan ia sendiri sempat melupakannya, harapan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah tersebut kembali muncul setelah ia bertemu dengan pejabat kantor Menpora yang kebetulan menumpang taksinya.
"Waktu itu saya mendapat penumpang Pak Karsono dari Menpora. Beliau kaget setelah membaca majalah Blue Bird Grup bahwa saya adalah mantan atlet silat yang pernah berprestasi tingkat Asia," kata Marina.
Hati Marina pun berbunga-bunga ketika Karsono mengatakan bahwa Kantor Menpora mempunyai program penghargaan berupa bantuan rumah untuk mantan atlet berprestasi yang belum punya rumah.
"Sepulang mengantar Pak Karsono ke Menpora, saya langsung pulang dan sambil menangis meminta kepada ibu saya agar saya didoakan mendapat penghargaan rumah dari Menpora. Ibu saya ikut menangis karena sangat berharap," kata Marina dengan mata berbinar.
Itulah Marina, mantan pendekar yang tak mengharap belas kasihan atau merengek meminta perhatian pemerintah terhadap apa yang sudah dilakukannya pada masa lalu. Seperti juga pada masa jayanya sebagai atlet, ia ingin dipuji dan dihargai bukan dikasihani.
Di saat sebagian warga ibukota Jakarta masih terlelap dalam tidur, Marina (47 tahun) sudah berada di balik kemudi, menjelajahi jalanan untuk mencari penumpang.
Rutinitas sebagai sopir taksi tersebut sudah dijalani orang tua tunggal dengan dua anak dan empat cucu itu sejak empat tahun lalu.
Sejak berpisah dengan suaminya Rainer Nurdin pada 1990, mantan atlet pencak silat yang pernah menjadi juara Asia di Singapura tersebut harus menghidupi sendiri kedua anak perempuannya yang masih kecil, yaitu Ayu dan Rima
Beruntung wanita blasteran Jerman-Jawa itu masih bisa menumpang di rumah orang tuanya di daerah Bintara, Bekasi Barat, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk mengontrak rumah.
Sebelum menjadi sopir taksi Blue Bird, Marina dengan modal yang terbatas pernah mencoba dagang kebutuhan sehari-hari di dekat rumahnya, tapi gagal karena terus merugi. "Saya akhirnya memutuskan untuk menjadi sopir taksi karena dari dulu saya memang gemar mengemudi," kata Marina di tempat tinggalnya di Bintara.
Marina, yang berayah Martin Segedi (alm) asal Jerman dan ibu Soekartien dari Malang, tampak menjalani profesinya dengan tenang dan nyaman, meski bagi sebagian masyarakat profesi supir taksi bagi sebagian wanita adalah hal yang tidak lumrah.
Berita yang sering muncul di berbagai media mengenai kejahatan yang dialami supir taksi,seperti penodongan, tidak membuat Marina ciut dalam menjalankan profesinya tersebut karena setiap profesi pasti ada resikonya.
Pada awalnya, kedua anaknya memang sempat keberatan dengan profesi ibunya sebagai sopir taksi karena kejahatan sering mengintai di jalanan ibukota dengan kehidupan yang sangat keras.
Menurut Marina, anak-anaknya sempat menitikkan air mata saat melepas kepergiannya dari rumah dengan seragam sopir Blue Bird.
Tapi lama kelamaan, rasa sedih dan khawatir tersebut berubah jadi bangga dan salut melihat keteguhan hati sang ibu demi untuk masa depan kedua anaknya.
Berkat kegigihannya itulah, Marina mampu menyekolahkan kedua anaknya sampai tingkat sarjana karena ia sudah bertekad agar pendidikan kedua buah hatinya lebih baik dari dirinya yang hanya tamatan SMA.
Keteguhan hati dan keikhlasan dalam menjalankan profesi itu pulalah yang membuat Marina muncul di majalah bulanan "Inspiring Woman Digest" edisi Februari 2011, bersama beberapa wanita terkenal lainnya, di antaranya pengusaha Dewi Motik Pramono dan Ingrid Kansil.
Perlakuan istimewa
Selama menjadi sopir taksi, Marina mengaku beruntung tidak pernah mengalami kejadian yang luar biasa, seperti penodongan oleh penumpang atau kejadian lainnya.
Kalau pun ada hal-hal yang tidak menyenangkan, itu pernah terjadi saat ia distop oleh beberapa lelaki yang dari gerak-geriknya sedang mabuk. "Di perusahaan ada aturan kalau kita tidak boleh menolak penumpang. Tapi melihat gelagat yang tidak beres karena lelaki tersebut bicara kasar dan mulutnya bau alkohol, saya langsung tancap gas sebelum mereka naik," kata Marina.
Tapi tidak jarang Marina juga menerima perlakuan istimewa, baik dari para penumpang maupun dari sesama pengemudi taksi dari perusahaan lain.
Kalau yang menumpang adalah sesama perempuan, mereka biasanya tidak mau menerima uang kembalian. "Simpan saja kembaliannya, untuk anak-anak di rumah," kata Marina menirukan ucapan penumpang yang bersimpati kepadanya.
Sesama pengemudi dari perusahaan lain pun juga sering mengistimewakan Marina, padahal persaingan antara sesama mereka sangat ketat.
Marina bercerita bahwa suatu hari, ia pernah mangkal di depan sebuah hotel di kawasan Jakarta Timur yang sebenarnya dikuasai oleh taksi dari perusahaan lain dan pengemudi Blue Bird tidak berani mangkal di sana."Tapi mungkin karena saya perempuan, supir taksi dari perusahaan yang lain tidak keberatan, padahal kalau ada taksi Blue Bird berada disana, pasti sudah diusir," katanya.
Sebagai mantan atlet yang pernah mengibarkan Merah Putih di kompetisi tingkat Asia, Marina mengatakan bahwa juga berharap ada perhatian dari pemerintah agar mereka bisa hidup layak setelah pensiun sebagai atlet.
Saat mengalami kesulitan hidup setelah berpisah dengan suaminya dan harus menghidupi kedua anaknya, Marina pernah terpikir untuk mendatangi Kantor Menpora meminta bantuan, tapi ia tidak tahu harus menemui siapa sehingga rencana tersebut tidak pernah terwujud.
Setelah beberapa tahun kemudian dan ia sendiri sempat melupakannya, harapan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah tersebut kembali muncul setelah ia bertemu dengan pejabat kantor Menpora yang kebetulan menumpang taksinya.
"Waktu itu saya mendapat penumpang Pak Karsono dari Menpora. Beliau kaget setelah membaca majalah Blue Bird Grup bahwa saya adalah mantan atlet silat yang pernah berprestasi tingkat Asia," kata Marina.
Hati Marina pun berbunga-bunga ketika Karsono mengatakan bahwa Kantor Menpora mempunyai program penghargaan berupa bantuan rumah untuk mantan atlet berprestasi yang belum punya rumah.
"Sepulang mengantar Pak Karsono ke Menpora, saya langsung pulang dan sambil menangis meminta kepada ibu saya agar saya didoakan mendapat penghargaan rumah dari Menpora. Ibu saya ikut menangis karena sangat berharap," kata Marina dengan mata berbinar.
Itulah Marina, mantan pendekar yang tak mengharap belas kasihan atau merengek meminta perhatian pemerintah terhadap apa yang sudah dilakukannya pada masa lalu. Seperti juga pada masa jayanya sebagai atlet, ia ingin dipuji dan dihargai bukan dikasihani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar